KITAB FIQIH MAZHAB SYAFI'I
TERJEMAH FATHUL QORIB BAHASA INDONESIA LENKAP DENGAN SYARH (PENJELASAN)
KARYA SYAIKH MUHAMMAD QOSIM AL GHAZI
(SYARAH MATAN TAQRIB)
AL IMAM AL ALLAMAH AHMAD BIN HUSAIN
AL MASYHUR BI ABI SUJA’
ROHIMAHULLAHUTAALA
AMIN
PENGANTAR
Pujian dan sanjungan hanya hak
dan milik Alloh yang telah berfirman : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al
Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat
merubah-rubah kalimat - kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (QS. Al An’aam : 115). Benar dalam seluruh beritanya dan adil
dalam setiap perintah dan laranganNya.
Sholawat dan salam bagi kekasih
Ar Rohman; Muhammad bin Abdillah yang telah bersabda : “Barangsiapa yang
dikehendaki baiknya oleh Allah SWT, maka Dia Ta’ala akan memfaqihkan dia pada
agama”.
Tulisan yang akan kami sajikan
kehadapan pembaca merupakan kitab fiqih dalam Madzhab Imam As Syafi’i
rohimahulloh, yakni kitab FATHUL QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB .
Kami akan tampilkan secara bertahap, sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya
saya berharap bisa memberikan gambaran secara utuh lagi umum tentang fiqih
Madzhab. Amin.
Metode yang saya kerjakan
sangatlah sederhana, yakni :
Menterjemahkan kitab, dengan
memberi tanda […] pada matan asli yakni kitab At Taqriib dan membiarkannya
tanpa tanda […] untuk terjemah syarh/penjelasan.
Memberi catatan pada beberapa
kalimat yang Allah SWT taqdirkan mudah bagiku. Catatan ini terkadang berupa
a. Menyebutkan pengertian dan
penjelasan ringkas.
b. Penyebutan dalil yang menjadi
saksi bagi permasalahan atau pendapat tersebut.
c. Penetapan pendapat yang kuat
pada suatu permasalahan, hal ini dilakukan ketika pendapat madzhab merupakan
pendapat lemah secara tinjuan
dalil dan alasan.
Demikian pengantar ini saya
sampaikan, semoga pekerjaan ini menjadi amal sahalih bagi penulis, pensyarah,
penerjemah dan seluruh pembaca. Amin.
Sholawat dan salam bagi
Rosululloh, keluarga, sahabat dan seluruh manusia yang menempuh sunnah-nya.
Aamiin.
***
بسم الله الرحمن الرحيم
Syaikh Al Imam Al
‘Alim Al ‘Alamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qosim As Syafi’i -Semoga
Alloh melimpahkan rahmat dan keridlhoannya amin- berkata :
Seluruh pujian hanya hak Alloh, memulainya dengan hamdalah
karena berharap berkah, karena merupakan permulaan setiap urusan yang penting,
penutup setiap puji yang diijabah, dan akhir ungkapan orang-orang mu’min di
surga, kampung pahala. Aku memujiNya yang telah memberikan taufiq kepada setiap
yang Dia kehendaki dari kalangan para hambanya, untuk tafaquh di dalam Agama
sesuai dengan yang dikehendakiNya. Aku
bersholawat dan memohonkan keselamatan bagi makhluk termulia, Muhammad penghulu
para utusan, yang bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللّهُ بهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين
“Barangsiapa yang Alloh kehendaki kebaikannya maka Dia
Ta’ala akan memahamkannya pada agama” (HR. Bukhori[71], Muslim[1037]), demikian
pula sholawat dan salam bagi seluruh pengikut dan sahabatnya, selama ada
orang-orang yang berdzikir dan adanya orang-orang yang lalai.
Kemudian, kitab ini sangatlah ringkas dan runtut, kitab ini
saya berinama At Taqrib, dengan harapan para pemula bisa mengambil manfa’at
dalam masalah cabang syari’at dan agama, dan supaya menjadi media bagi
kebahagiaanku pada hari pembalasan, serta bermanfa’at bagi para hambanya dari
orang-orang Islam. Sesungguhnya Dia maha Mendengar permintaan hambanya, Maha
Dekat lagi Maha Mengabulkan, orang yang memaksudkanNya tidak akan sia-sia “Jika
hambaku bertanya kepada mu, maka sesungguhnya Aku sangatlah Dekat”. (QS. Al
Baqoroh : 186).
Ketahuilah!, dalam sebagian naskah kitab pada muqoddimahnya
terkadang penamaanya dengan AT TAQRIB dan terkadang pula dengan GHOYATUL
IKHTISHOR, oleh karena itu saya pun manamainya dengan dua nama, pertama FATHUL
QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB, kedua AL QAUL AL MUKHTAR FI SYARHI
GHOYATIL IKHTISHOR.
***
As Syaikh Al Imam Abu Thoyyib, dan terkenal pula dengan nama
Abi Suja’ Syihabul millah wad dien Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Al Ashfahaniy
–semoga Alloh memperbanyak curahan rahmat dan keridlhoan kepadanya, dan
menempatkannya di surga tertinggi– berkata:
[Bismillahirrohmaanirrohim] Aku memulai tulisan ini
Alloh merupakan nama bagi Dzat Yang
Wajib Adanya ‘wajibul wujud’ Ar Rohman lebih menyampaikan daripada Ar Rohim.
[Al Hamdu] merupakan pujian kepada Allah SWT dengan
keindahan/kebaikan disertai pengagungan. [Robbi] yaitu Yang Maha Menguasai. [Al
‘Aalamin] dengan difatahkan, ia sebagimana pendapat Ibnu Malik : Kata benda
jamak yang khusus digunakan bagi yang berakal, bukan seluruhnya. Kata
tunggalnya ‘aalam dengan difathahkan huruf lam, ia merupakan nama bagi selain Allah
SWT dan jamaknya khusus bagi yang
berakal.
[Dan sholawat Alloh] serta salam [atas pengulu kita,
Muhammad sang Nabi] ia dengan hamzah dan tidak dengan hamzah adalah manusia
yang diberikan wahyu kepadanya dengan syari’at yang dia beramal dengannya
walaupun tidak diperintahkan menyampaikannya, maka jika diperintahkan
menyampaikan maka dia Nabi dan Rosul. Maknanya curahkanlah sholawat dan salam
kepadanya. Muhammad adalah nama yang diambil dari isim maf’ul al mudlho’af al
‘ain. Dan Nabi merupakan badal dari nya
atau ‘athof bayan. [Dan] bagi
[keluarganya yang suci], mereka sebagaimana diungkapkan As Syafi’i :
Keluarganya yang beriman dari Bani Hasyim dan Bani Al Mutholib, dikatakan dan
An Nawawi memilihnya : Mereka adalah seluruh orang muslim. Mudah-mudahan
perkataanya ath thohirin diambil dari firmanNya Ta’ala : “dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya” (QS. Al Ahzab : 33). [Dan] bagi [para sahabatnya], ia jamak
dari shohibun nabi . Dan perkataanya [seluruhnya] merupakan takid ‘penegas’
dari shohabat.
Kemudian penulis menyebutkan bahwa dia menulis ringkasan ini
karena suatu permintaan, dalam perkataannya : [sebagian ‘al asdhiqo’
sahabat-sahabtku memintaku], ia jamak dari shodiiq. Dan perkataanya : [semoga Allah
SWT menjaga mereka], ia merupakan kalimat du’a. [supaya aku membuat suatu
ringkasan], ia adalah sesuatu yang sedikit lafadznya dan banyak maknanya [dalam
fiqih], ia secara bahasa bermakna pemahaman, adapun secara istilah adalah
pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’iyah ‘amaliyah yang diusahakan dari
dalil-dailnya yang rinci. [Madzhab Al Imam] yang mulia, mujtahid, penolong
sunnah dan agama, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin Utsman bin
Syafi’i. [Asy Syafi’i] dilahirkan di Gaza tahun 150 H dan wafat [semoga
kepadanya tercurah rahmat dan keridlhoanNya] hari Jum’at akhir bulan Rajab
tahun 204 H.
Penulis mensifati ringkasannya dengan ragam sifat,
diantaranya [pada puncak ringkasan dan akhir rangkuman] dan kata-kata al ghoyah
dan nihayah memiliki kedekatan makna, demikian pula al ikhtisor dan al ijaz,
diantara sifatnya pula [mendekatkan pemahaman pada pelajar] kepada cabang fiqih
[untuk mempelajarinya dan mempermudah para pemula untuk menghafalnya] yakni
menghadirkannya dari hafalan bagi orang-orang yang berkeinginan menghafal
ringkasan ilmu fiq. [Dan] sebagian sahabat meminta pula supaya aku
[memperbanyak didalamnya] yakni di dalam ringkasan tersebut
[pembagian-pembagian] ahkam fiqhiyyah [dan] dari [membatasi] yakni seksama
[dalam menentukan] yang wajib, mandzub dan selain keduanya. [Maka aku
berkeinginan mengabulkan pada] permintaannya karena [mengharap pahala] dari Allah
SWT atas usaha menulis ringkasan ini. [Harapan hanya kepada Alloh yang maha
suci lagi maha tinggi] di dalam bantuan –dari keutamaanNya– untuk menuntaskan
ringkasan ini, dan [harapan pula hanya kepada Alloh, untuk mendafatkan taufiq
pada kebenaran], ia merupakan lawan dari salah. [SesungguhNya] Ta’ala [atas
segala sesuatu yang dikehendakiNya yakni diinginkannya [Maha Mampu] yakni Maha
Sanggup [dan Dia kepada para hambanya Maha Lembut lagi Maha Mengetahui] keadaan
para hambanya. Yang pertama diambil dari firmanNya Ta’ala “Alloh Maha Lembut
kepada para hambanya” (QS. Asy Syuro : 19), yang kedua diambil dari firmanNya
Ta’ala “Dan Dia Maha Bijaksana lgi Maha Mengetahui” (QS. Al An’am : 18), al
lathif dan al Khobir merupakan dua nama diantara nama-nama Allah SWT. Makna
yang pertama ‘al lathif’ yang mengetahui segala sesuatu secara detil dan
permasalahan-permasalahannya, ia kadang dimutlakan pula pada makna Maha lembut
kepada mereka, maka Alloh Maha Mengetahui tentang para hambanya dan
tempat-tempat kebutuhan/kehendak/keinginan mereka lagi Maha lembut kepada
mereka. Makna yang kedua memiliki kedekatan makna dengan yang pertama,
dikatakan : khobartu asysyaia akhbarohu fa anaa bihi khobiirun, yakni
mengetahui.
***
[1] Syaikh merupakan masdar dari syaa-kho, dikatakan syaa-ko
– yasyii-ku – syaikhon, ia secara bahasa orang yang telah melewati usia empat
puluh tahun. Manusia selama berada di perut ibunya dinamakan janin, karena
tersembunyi dan terhalanginya, setelah dilahirkan disebut athiflu, dzuriyyah,
dan shobiy. Setelah baligh disebut syaab dan fataa. Setelah usia tigapuluh tahun
disebut kahul. Setelah empat puluh tahun jika laki-laki disebut syaikh, dan
bila perempuan disebut syaikhoh. Adapun secara istilah adalah orang yang telah
mencapai kedudukan oranr-orang yang memiliki keutamaan, walaupun masih
anak-anak. (Lihat Hasyiyah Baajuuriy Qosim, Daaru Ihya al Kutub al ‘Arobiyyah,
h. 3).
[2] Secara bahasa al muttaba’ (yang diikuti), adapun secara
istilah orang yang sah untuk dijadikan contoh. (ibid).
[3] Maknanya yang memiliki banyak ilmu. (ibid).
[4] Beliau wafat pada tahun 918 H.
[5] Qodiy Abu Suja lahir pada tahun 434 H (1041 M), dan
wafat tahun 592 H (1197 M) semoga Alloh merahmati dan meninggikan derajatnya,
Amin
[6] Penulis rohimahulloh memulai risalahnya dengan bismillah
karena :
Mengikuti kitab Allah SWT, ia merupakan ayat pertama dari
surat al Fatihah, bagian dari surat an Naml dan merupakan ayat mustaqillah dari
surat-surat yang lainnya; yakni sebagai pemisah diantara surat, kecuali antara
surat al Anfal dan surat Al Baroah.
Mengikuti sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam,
sebagimana dalam sahih al Bukhori hadits dari Abi Sufyan tentang surat baginda
sholallohu ‘alaihi wa sallam kepada pemdesar negeri Romwai, demikian pula
hadits Miswar tentang perjanjian Hudaibiyah.
Mengikuti kebiasaan para Imam dalam menulis kitab dan
risalah, demikian diungkapkan Ibnu Hajar Al Asqolaniy dalam Fathul Bari Syarh
Sahih Al Bukhori[6].
Adapun hadits yang menyebutkan : “Setiap urusan penting yang
tidak diawali dengan bismillahirrohmanirrohim maka terputus” dan yang semakna
atau semisal dengannya maka haditsnya Dlhoif/lemah. Diantara yang menghukuminya
Al Hafidz Ibnu Hajar As Syafi’i, As Syakhowiy dan yang lain-lainnya.
Hukum Membaca Bismillah.
Ia terbagi pada hukum yang lima :
Sunnah dalam segala urusan yang memiliki nilai penting, kita
tidak menyandarkannya pada hadits di atas, namun sebagai bentuk ikutan pada
perbuatan Rosul dan kebiasaan para ulama; pewaris para nabi. Dan yang pertama
menulis kalimat bismillahirrohmanirrohim secara lengkap pada permulaan
risalah/surat nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
Haram tatkala akan mengerjakan sesuatu yang haram secara
dzatnya, seperti tatkala akan minum khomr/minuman memabukan, zina dan lain
sebagainya. Bahkan dikhawatirkan riddahnya karena ada bentuk pelecehan pada
kalimat bissmillah itu sendiri.
Makruh tatkala akan mengerjakan yang makruh secara dzatnya,
seperti tatkala mau merokok bagi yang berpendapat makruhnya. Atau tatkala akan
melihat kemaluan istrinya menurut madzhab; namun pendapat ini lemah, akan
datang penjelasannya pada Kitab Nikah insya Alloh.
Wajib ketika sedang sholat, karena ia bagian dari surat al
Fatihah.
Mubah ketika akan mengerjakan sesuatu yang tidak memiliki
nilai penting, seperti ketika akan memindahkan barang dan yang lain-lainnya.
Demikianlah diantara penjelasan yang disampaikan sebagian
para ulama, semoga Alloh merahmati yang telah meninggal dunia, dan menjaga yang
masih di hidup di alam fana.
[7] Lafadz الله merupakan a’rofu lma’arif ‘alal ithlaq,
yakni nama yang paling diketahui disemua
tempat dan waktu; sehingga ketika disebutkan nama الله maka pikiran-pun
mengerti tentang siapakah Dia; Dia-lah Alloh Rabb semesta Alam; Pencipta,
Pengatur Alam Semesta, Pemberi Rizki; Serta Dia-lah yang berhaq di sembah.
Dikatakan pula lafadz الله merupakan
ismun ‘a-dzom, karena ia merupakan nama yang paling banyak disebutkan di dalam
al Qur’an, atau karena setiap nama yang datang setelahnya merupakan sifat
baginya.
[8] Sebagaimana telah diketahui oleh para pencari ilmu,
tatkala kita beriman kepada Alloh maka kita menetapkan adanya Allah SWT, maka
ketahuilah bahwa adanya Allah SWT wajibul wujud li dzatihi, yakni tidak
didahului dengan ketiadaan dan tidak diakhiri dengan ketiadaan I. Dia Y
merupakan wajibul wujud lidzatihi [ini bab khobar], berbeda dengan makhluk,
karena adanya makhluk bukan-lah sesuatu yang wajib dan bukan pula sesuatu yang
terlarang; Karena, andaikan saja adanya makhluk itu merupakan sesuatu yang
wajib maka tidak akan didahului dengan ketiadaan, ketiadaan yang mendahului
adanya makhluk merupakan petunjuk bahwa keberadaannya itu bukanlah sesuatu yang
wajib, bahkan merupakan sesuatu yang jaiz (boleh), (dan) bukan pula sesuatu
yang terlarang; Karena Alloh telah menciptakan dan mengadakannya. Maka sesuatu
yang mumtani’ (terlarang) tidak dijadikan\diciptakan, maka ini menunjukan bahwa
adanya makhluk merupakan wujudun jaizun (adanya itu merupakan sesuatu yang
boleh), ketiadaan telah mendahuluinya, ketiadaan akan menjumpainya, kelemahan
dan kekurangan akan menyertainya.
[9] Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berpendapat bahwa [الرحمن]
menunjukkan atas sifat yang ada pada Dzat U. Adapun [الرحيم] adalah menunjukkan
pada keterkaitannya dengan yang dirahmati; Oleh karenanya tidaklah terdapat di
dalam Al-Qur’an nama Ar-rohman dalam kedaan muta’adi; Alloh U berfirman : ((
وكان الله بالمؤمنين رحيما )) [Al Ahzab : 43]. Dan tidaklah dikatakan “ رحمانا
”. Inilah sebaik-baik pendapat yang dikatakan dalam masalah perbedaan antara
keduanya.
[10] ( ال ) “Alif dan lam” dalam kata الحمد adalah
lil-istighroq. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa ال tersebut liljinsi,
maknanya : Bahwa seluruh (jenis) pujian yang sempurna adalah bagi Alloh; Jika
demikian, maka mengandung konsekwensi tetapnya segala yang dipuji dari
sifat-sifat yang sempurna nan Maha Indah bagi Alloh U.
Dimanakah Alloh dipuji ?. Imam As Syanqhity rohimahulloh
ketika menafsirkan surat Al Fatihah berkata : “Dalam hamd (pujian) di sini
tidak disebutkan dzorof zaman atau pun
dzorof makan. Telah disebutkan dalam surat Ar Rum bahwa dzhorof makan-nya
adalah langit dan bumi : “Baginyalah
pujian di langit dan di bumi”; Disebutkan pula dalam surat Al Qhosos
bahwa dzhorof-nya adalah dzhorof zaman, yakni di dunia dan di akhirat, Dia U
berfirman : “Dan Dia-lah Alloh yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia,
bagi-Nya lah pujian di dunia dan di akhirat.
Ragam pujian terkumpul dalam lima simpul :
Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam kemandirian dalam
rububiyahNya yang tiada sekutu baginya; dan terpuji pula dalam jejak-jejak
rububiyahNya pada seluruh makhluknya.
Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam uluhiyyahNya (hak-hak
ketuhanan) dari seluruh makhlukNya; Dan Alloh-lah satu-satunya yang berhak
untuk disembah, tanpa sekutu di dalamya.
Alloh jalla wa ‘ala terpuji dikarenakan nama-namaNya yang
indah dan sifat-sifatNya yang tinggi.
Alloh jalla wa ‘ala dipuji karena syari’at, perintah dan
larangan-Nya.
Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam ketentuan-ketentuan dan
taqdir-Nya serta semua hal yang bejalan dalam sunnah kauniyahnya (hukum alam
–pen).
Perbedaan Antara Hamdu dengan Madhu. Al Hamdu mengabarkan
kebaikan yang dipuji dengan disertai kecintaan dan pengagungan. Sedangkan Al
Madhu hanya mengabarkan saja tanpa dibarengi dengan kecintaan dan pengagungan.
Perbedaan Antara hamad (pujian) dan tsana (sanjungan).
Sebagian para ulama tidak membedakan antara hamd dengan tsana. Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin rohimahulloh berkata : “Al-hamdu adalah mensifati yang
dipuji dengan kesempurnaan dibarengi dengan kecintaan dan pengagungan, jika
sifat kesempurnaan itu diulang maka menjadi tsana (sanjungan).
[11] (عالم) ‘aalam’, ia merupakan isim jenis, ia bisa jadi
mustaq dari ‘alamah atau dari kata ‘ilmu. Keduanya merupakan makna yang bisa
diterima, sebagimana diungkapkan oleh al Baghowi rohimahulloh dalam kitab
tafsirnya. Jika di ambil dari yang pertama maka dikatakan : ‘Alam merupakan
‘alamah (tanda) adanya Allah SWT. Jika di ambil dari yang kedua (‘ilmu) maka
dikatakan : Dengan adanya alam manusia menjadi tahu adanya Alloh subhanahu wa
Ta’ala, atau : «Alloh tidak menciptakan ‘alam kecuali dilandasi ilmu yang
sempurna». Kedua makna ini sahih/benar.
[12] Bila dengan hamzah maka yang dimaksud (النبيء) maka ia
diambil dari (النبأ) an-naba yang berarti al khobar ‘berita ; Karena nabi
dikabari dan mengabarkan, dikabari dari sisi Alloh dan mengabarkan kepada
makhluk. Bila tanpa hamzah maksudnya (النبي), ia diambil dari (النبوة) yang
bermakna (الإرتفاع) al irtifa’, karena nabi memiliki kedudukan yang tinggi.
Jadi kedua makna ini bisa dipakai. Allohu ‘alam.
[13] Yakni penegas dari kata Muhammad.
[14] Setiap orang yang pernah berkumpul dengan nabi
Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan
seperti itu, walaupun pernah diselangi dengan riddah.
[15] Perkataan penulis rohimahulloh : Sesungguhnya Dia (Allah
SWT) atas setiap yang dikehendakiNya Maha Mampu. Alangkah baiknya jika penulis
mengatakan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » karena
bebrapa alasan :
Perkataan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala
Sesuatu » merupakan kalimat yang Alloh sebutkan di dalam al Qur’an, misal lihat
surat ath Tholaq : 21.
Perkataan seperti ini merupakan perkataan yang terkenal dan
dipopulerkan oleh kelompok yang menyimpang. Sedangkan kewajiban kita
menyelisihi penyimpangan mereka.
Perkataan seperti ini mengandung konsekwensi bathil, yaitu
menetapkan bahwa Alloh hanya mampu mengerjakan yang Dia kehendaki, adapun yang
tidak dikehendakiNya maka Alloh tidak mampu mengerjakannya. Padahal di dalam
ayat Al Qur’an Allah SWT mengaitkan Maha Mampunya kepada sesuatu yang
dikehendaki dan kepada yang tidak dikehendaki terjadinya, silahkan lihat surat
Al An’am ayat 65). Perincian masalah ini silahkan merujuk pada penjelasan para
ulama salaf dalam kitab-kitab aqidah.
Kitabu ahkami thoharoh
Pengertian
1 Kitab menurut bahasa
berarti mengumpulkan
Sedangkan menurut istilah adalah kumpulan dari beberapa
hukum
2 Thoharoh berasal dari kata anadhofatu yang berarti bersuci
Sedangkan menurut istilah artinya suatu perbuatan yang
menjadikan sah nya shalat seperti
wudzu,mandi,tayamum,dan menghilangkan najis.sedangkan tuharo dengan di baca
dzumah to’nya berarti alat untuk bersuci.
# Air
Air yang sah di gunakan untuk toharoh ada 7:
Air langit(air yang turan dari langit/air hujan)
Air laut(air asin)
Air sungai (air tawar)
Air mata air(air yang keluar dari bumi)
Air salju/air es
Air sumur
Air embun
Ketujuh air itu di katakan air yang turun dari langit dan
keluar dari bumi dari beberapa sifat asal terciptanya air tersebut.
Kemudian air dibagi menjadi 4 bagian:
Air suci mensucikan yaitu air yang belum isti’mal (belum
digunakan sesuci wajib) atau air mutlaq
Air suci mensucikan tetapi makruh digunakan di badan tidak
di pakaian yaitu air yang dipanaskan menggumakan wadah yang tidak terbuat dari
emas atau perak. Tetapi apabila sudah dingin maka hilanglah sifat kemakruhanya
, menurut imam nawawi juga dimakruhkan menggunakan air yang sangat panas atau
sangat dingin karna menjadikan tidak sempurnanya bersuci.
Air suci tapi tidak mensucikan yaitu air musta’mal .air yang
sudah digunakan untuk menghilangkan najis atau untuk bersuci.walaupun tidak
berubah ukuran air tersebut .Seprti air mawar yang berbau.
Air najis air yang sudah terkena najis air najis ada dua
bagian :
Air yang terkena
najis wlapun tidak berubah yaitu air yang kurang dari dua kolah.
Air yang lebih dari
dua kolah tetapi berubah baik banyak maupun sedikit.
Dua kolah menurut ukuran baghdat yaitu 500 kathi, sedangkan
menurut imam nawawi adalah 180 dirham .
menurut pengarang kitab ada air yang suci tapi haram
digunakan atau diminum yaitu air yang di ghosob.
(PASAL)
Suatu yang terkena najis dan suatu yang suci dengan di
sama’dan suatu yang tidak bisa suci
Kulit binatang bisa suci dangan cara di sama’ sama juga
binatang yang dimakan daging nya atau tidak.
Tata cara menyamak menggunakan barang yang bisa
menghilangkan darah atau sejenisnya,dengan menggunakan suatu yang sepet,seperti
kayu trenggali walaupun yang digunakan itu najis seperti kotoran merpati maka
barang tersebut sudah dapat digunakan untuk menyama’.
Adapun tatacara menyamak yaitu:
Menghilangkan sisa daging dan bau bacin sedangkan cara
manghilangkan bau bacin tersebut dengan menghilangkan darah atau daging yang
menempel di kulit.
Memakai sesuatu yang mempunyai rasa kesat atau sepet.
Kulit anjing dan kulit babi tidak bisa suci walaupun sudah
di sama’
(PASAL)
Siwak
Siwak adalah sebagian dari sunah nya wudzu adapun alat yang
di gunakan antuk siwak adalah kayu iro’.
Hukum siwak adalah
sunah di setiap waktu, namun makruh bagi orang yang berpuasa baik fardzu atau
sunah yaitu setelah matahari tegak lurus hangga bergeser sedikit ke barat.
Sifat makruh tersebut bias hilang setelah matahari terbenam.
Siwak di sunah kan di dalam 4 perkara:
Ketika bau mulut,dikarenakan diam dalam waktu yang lama
(tidur),meninggalkan makan yang lama (puasa)dan meakan sesuatu yang berbau
tidak enak seperti,bawang,bawang merah,petai dan lain-lain.
Ketika bangun tidur
Ketika akan mengerjakan shalat
Ketika akan membaca al qur’an
Disunahkan dalam memegang siwa’ itu dengan tangan kanan dan
dalam memulai dari sisi kanan.
( PASAL)
Fardzunya wudzu
Fardzunya wudzu ada
6:
Niat menurut syara’ artinya menyengaja melakukan sesuatu
(azam) dan disertai melakukan sesuatu . niat dalam wudzu di lakukan saat
membasuh muka yang paling awal.niat dilakukan karena untuk menghilangkan najis
atau untuk berwudzu atau untuk mensucikan dari hadas
Membasuh muka , batasnya mulai dari tumbuhnya rambut kepala
hingga tulang rahang bawah.dan dari
pentil telinga kanan hingga pentil telanga kiri.
Membasuh tangan hingga kedua siku-siku ,apabila orang tidak
mempunyai siku-siku maka orang tersebut mengira-ngira dalam membasuh tangan,
seorang juga wajib menghilangkan sesuatu yang manghalangi meresapnya air
kedalam kulit.
Mengusap sebagian kepala .
Membasuh kedua kaki hingga mata kaki,walupun orang yang
berwudzu memakai kaos kaki (muzah) ,maka wajib membasuh dan mengusap jari-jari
kaki.
Tartib,ketika orang yang berwudzu lupa atau tidak tartib
maka wudzunya tidak sah.
(PASAL)
Sunah nya wudzu
Sunah nya wudzu ada 10 perkara:
Membaca basmalah,ketika seorang lupa membaca basmalah dan
teringat di tengah-tengah wudzu dan membaca basmalah di tengah-tengah wudzu mak
a masih mendapat sunahnya wudzu,tetepi apabila teringat ketika wudzu telah
selesai dan membaca basmalah maka basmalah tidak di hitung.
Membasuh telapak tangan hingga pergelangan tangan subelam
berkumur sebanyak tiga kali.
Berkumur setelah membasuh telapak tangan.
Menghisap air ke hidung lalu di keluarkan.
Mengusap seluruh kepala ,ketika orang yang memakai serban
maka wajib di lepas.
Mengusap bagian dalam dan luar telinga dengan menggunakan
air adapun caranya yaitu jari-jari tangan di masukan ke daun telinga dan
memutar jari tersebut,hingga lipatan-lipatan
telinga.
Membasuh sela-sela rambut janggut.
Membasuh sela-sela jari-jari tangan.
Membasuh sela-sela jari kaki.,adapun tatacaranya mengawali
dengan meletakkan jari kelingking tangan yang kiri di bawah telapak kaki kiri
dan sebalik nya.
Mendahulukan anggota yang sebelah kanan.
Mushanef menambahkan sunah-sunahnya wudzu yaitu:
Membasuh anggota wudzu sebanyak 3 kali
Terus menerus,apabila anggota satu sudah di basuh maka meneruskan basuhan selanjutnya
anggota tersebut jangan sampai kering
(PASAL)
Istinja’ dan tatacara masuk wc
A Pengertian
Istinjak adalah membersihkan diri dari segala kotoran yang
keluar dari qubul dan dubur manusia yaitu air kecil dan air besar dengan
menggunakan air atau batu .
- Di utamakan
ketika beristinjak yaitu dengan menggunakan batu dan baru menggunakan air
sebanyak tiga kali siraman.
- Dan
diperbolehkan orang yang beristinjak meringkas air atau beberapa batu atau
disunahkan menigakalikan ketika beristinjak.
- Orang yang
beristinjak itu lebih utama menggunakan air dari pada menggunakan batu karena
air bias menghilangkan keadaan najis (warna,baud an rasa) sehingga menjadi
suci.
* Syarat beristinjak menggunakan batu
v Barang atau najis
yang keluar belum kering
v Belum pindah dari
tempatnya
v Tidak bersifat baru
“ Larangan-Larangn
Dalam Membuang Hajat”
Tidak boleh menghadap kiblat dan membelakang kiblat ketika
buang hajad di tanah lapang
Dan di perbolehkan ketika buang hajat di tempat yang sudah
di sediakan (wc)
Hukumnya sunah ketika menjauhkan diri dari buang hajat di
air yang diam atau tenang
Dan dimakruhkan buang hajat
di tempat atau air yang sedikit
Di larang duang hajat di bawah pohon yang berbuah
Di larang buang hajat di jalan yang sering di lewati manusia
Di larang buang hajat di tempat istirahat manusia
Di larang buang hajat menghadap matahari dan di lubang dalam
bumi (leng)
Tidak boleh berbicara ketika buang hajat kecuali dzorurot
seperti melihat ular dan ular tersebut mendekati .
Imam nawawi (kitab roudzoh)
Dimakruhkan ketika buang hajat menghadap matahari dan
rembulan
Dalam kitab washit tidak di makruhkan
Di kitab tahqiq dimakruhkan
(PASAL)
Perkara yang merusak wudzudi sebabkan oleh hadas
Perkara yang
membatalkan wudzu itu ada lima :
Keluarnya sesuatu dari salah satu jalan dua (duburdan qubul)
dari orang yang berwudzu dan hidup,yang biasanya seperti buang air kecil atau
besar,atau sesuatu yang langka seperti darah’batu itu juga najis atau yang
keluar itu barang yang suci seperti belatung ,kecuali mani yang keluar di
sebabkan orang tang mimpidalam keadaan duduk
Hilang akal disebabkan karena mabuk,sakit gila,ayan
Tidur yang tidak menetapkan duduknya
Bertemunya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
,meskipun itu sudah mati.Yang dimaksud adalah bertemunya kulit laki-laki dan
perumpuan yang sudah baligh .Muhrim adalah seorang yang haram di nikah karena
tunggal nasab,suson ataupun tunggal mertua. (tanpa menggunakan
penghalang)
Menyentuh farji anak adam menggunakan telapak tangan,dari
diri sendiri atau orang lain ,laki-laki atau perempuan, besar atau kecil,hidup
atau mati. Dan menyentuh kolongan dubur juga membatalkan wudzu .
(PASAL)
Perkara yang mewajibkan mandi
Perkara yang
mewajibkan mandi ada 6:
Bertemunya alat kelamin laki-laki dengan perempuan walaupun
tidak mengeluarkan mani
Mengeluarkan mani walaupun sedikit atau banyak ,dengan jima’
atau tidak jima’ ,dalam keadaan tidur atau sadar ,dengan syahwat atau tidak
,dari jalan yang di adatkan atau tidak.
Mati kecuali mati sahid (matinya orang dalam menegakkan
agama islam)
Haid bagi wanita ,Haid adalah darah yang keluar dari farji
wanita yang sudah berusia Sembilan tahun
Nifas ,darah yang keluar sesudah melahirkan
Melahirkan
(PASAL)
Fardzunya mandi
Fardzunya
mandi itu ada 2:
Niat, maka niatnya orang junub itu untuk menghilngkan hadas
junub dan niatnya orang haid dan nifas itu untuk menghilangkan hadas haid atau
nifas.niat dilakukan pada saat melakukan basuhan atau siraman yang pertama
kali.jika orang yang mandi melakukan niat sesudah menyiram badan maka mandi nya
harus di ulang .Sebelum kita mandi wajib,kita dianjurkan menghilangkan najis
yang ada di badan kita (menurut imam rofi’i),sedangkan menurut imam nawawi
tidak menghilangkan najis itu tidak apa apa
Menyiram seluruh anggota badan (dari pucuk rambut sampai
pucuk jari-jari kaki)dan jika orang memakai gelung maka wajib untuk melepas
gelung tersebut .dan wajib untuk membasuh perkara atau bagian yang kelihatan
seperti daun telinga ,hidung pesek,sela-sela badan iqud (kelamin laki-laki yang
belum sunat) farjinya perempuan yang kelihatan ketika jongkok.
(PASAL)
Mandi sunah
Mandi yang
di sunahkan ada 14 :
Mandi jum’at (mandi yang di lakukan karena akan melakukan
salat jum’at ) adapun waktunya untuk melakukan mandi adalah mulai dari terbit
fajar sodiq sampai akan salat jum’at
Mandi hari raya idul fitri dan idul adha ,waktunya dari
tengah malam idul fitri atau idul adha hingga akan salat hari raya
Mandi saat gerhana matahari dan gerhana bulan
Mandi karena kita memandikan mayit islam atau kafir
Mandi orang yang baru masuk islam
Mandi bagi orang yang akan ihram .dan ketika akan ihram
tidak ada air maka sebagai penggantanya adalah tayamum,hokum tersebut
diperbolehkan
Mandi ketika akan masuk ke kota makkah untuk ihram dalam
ibadah haji atau umroh.
Mandi ketika akan wuquf di arafah pada tanggal 9 dzulhijah
Mandi karena menginap di muzdalifah
Mandi ketika akan melampar jumroh pada hari tasrik (11,12,13
dzulhijah)
Mandi ketika akan melempar jumrah aqobah pada hari qurban
(yaumul nahr)
Mandi ketika akan wuquf
Mandi akan towaf (ifadzah,wada’,qudum)
Mandi saat terbitnya matahari
(PASAL)
tayamum
Menurut bahasa
tayamum artinya menyengaja,sedangkan menurut istilah artinya mengusap wajah dan
dua telapak tangan dengan menggunakan debu yang suci dan dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan,sebagai gantinya wudzu atau mandi.
Starat-syarat tayamum :
Adanya udzur yang di sebabkan bepergian atau sakit
Dalam melakukan tayamum harus sudah masuk waktu salat
sehingga jika tayamum dilakukan sebelum masuk waktu salat maka salatnya tidak
sah
Adanya udzur menggunakan air,dikarenakan khawatir jika
menggunakan air pada saat bepergian atau hawatir jika ada hewan buas ,musuh
atau terhadap hartanya dari pencuri
Harus menggunakan debu yang suci dan mensucikan kecuali debu
yang basah ,debu diperoleh dari ghosob ,debu kuburan,debu yang dicampur dengan
barang yang suci seperti debu yang di campur dengan tepung,pasir,kapurpecahan
genting,kerikil dan juga tidak boleh menggunakan debu yang sudah musta’mal
Fardzunya tayamum ada 4:
Niat,dilakukan pada saat mengusap wajah dan diucapkan di
dalam hati
Mengusap wajah
Mengusap kedua tangan sampai siku-siku
Tartib(urut-urut) apabila tidak tertib maka tayamumnya tidak
sah.
Sunah tayamum:
Membaca basmallah
Mendahulukan anggota yang kanan dan mengahirkan anggota yang
kiri
Mendahulukan bagian wajah yang atas
Mualah (urut/tartib)
Perkara yang membatalkan tayamum:
Semua Perkara yang membatalkan wudzu juga membatalkan
tayamum
Melihat atau menemukan air sebelum salat ,apabila melihat
air sebelum tekbirotul ikhram maka tayamumnya sah dan salatnya boleh di
lanjukkan
Murtad (keluar dari islam)
Apabila orang yang tayamum pakai perban ,maka perban
tersebut harus dilepas ,dan bila membahayakana untuk melepas perban maka cukup
mengusap perban tersebut
Tayamum hanya di lakukan untuk melakukan satu kali salat
fardzu,antara thawaf satu dengan yang lain,antara salat jum’at dan dua khotbah
jum’at
(PASAL)
Macam-macam najis dan cara menghilangkanya
Najis
menurut bahasa adalah sesuatu yang menjijikan ,sedangkan menurut istilah adalah
sesuatu yang haram seperti
Perkara yang berwujud cair(darah muntah muntahan dan
nanah),setiap perkara yang keluar dari dubur dan qubul kecuali mani
Bangkai dan semua bagian kulit,rambut,serta tulangnya
kecuali bangkai manusia,ikan dan belalang
Bagian dari hawan yang hidup yang terpisah kecuali yang asal
dari manusia ,ikan dan belalang
Membasuh air kencing dan kotoran itu hukumnya wajib kecuali
air kencing bayi laki-laki yang yang belum makan dan belum minum kecuali air
asi,dan belum makan sesuatu yang menambah kekuatan.
Air kencing bayi laki-laki dapat di hilangkan dengan cara
menyiram air ke badan yang terkena najis tersebut,tetapi lain halnya dengan
bayi perempuan karena termasuk najis mukhafafah.
Darah atau nanah yang mengenai pakaian atau badan tetapi
hanya sedikit tetap sah untuk salat.
Hewan yang tidak mempunyai darah yang menalir di dalam tubuhnya
seperti lalat yag mati tercebur ke dalam air maka air tersebut tidak najis
,akan tetapi apabila bangkai lalat itu banyak dan hingga dapat merubah warna
air maka air tersebut akan menjadi najis,dan apabila air muncul hewan seperti
uget-uget maka air tersebut tidak najis
Semua hewan itu pada dasarnya itu suci kecuali anjing dan
babidan segala sesuatu yang di keliarkan anjing dan babi itu hukumnya najis
mughaladhah
Semua mayat itu najis kecuali mayat manusia,iakn,dan
belalang,ketiga mayat itu suci .
Sedangkan cara menghilangkan najis karena di jilat anjing
atau babi yaitu membasuh dengan air yang suci 7 kali dan salah satu dari 7
tersebut menggunakan debu yang suci.
Dan apabila dibasuh dengan menggunakan air yang mengalir dan
keruh ,maka sudah mencukupi dan tidak perlu menggunakan debu lagi,lebih utama
membasuh tiga kali pada terahir ,setelah di basuh 7 kali dengan di campur debu
.
Perkara yang najis bias menjadi suci yaitu dengan cara
mendiamkan sesuatu hingga berubah wujud nya (membusuk)seperti arak ketika
menjadi cukak dengan sendirinya tanpa diberi sesuatu di dalam arak tersebut
,dan ketika arak tersebut sudah menjadi suci maka wadah arak tersebut ikut
menjadi suci.
(PASAL)
Mengusap kaos kaki(muzah)
Mengusap
kaos kaki (muzah) di dalam wudzu itu hukumnya boleh,tetapi di dalam mandi
ferdzu atau sunah hukumnya tidak di perbolehkan serta di dalam menghilangkan
najis juga tidak diperbolehkan apabila seorang edang junub atau kakinya terluka
apbila orang tersebut berharap atau mengharap untuk di usap sebagai gantinya
membasuh kaki ,maka hukumnya tidak boleh akan tetapi di wajibkan membasuh
kakinya ,mengusap dua muzah itu
hukumnya diperbolehkan ,tetapi jika hanya satu muzah yang di usap itu tidak di
perbolehkan kecuali orang yang tidak mempunyai kaki (cacat)
Syarat membasuh dua muzah:
Seorang yang memakai muzah harus dalam keaadaan suci,jika
orang yang memakai muzah dalam keadaan hadas dan berhadas sebelum telapak kaki
menyentuh muzah maka jika mengusap muzah hukumnya tidak sah .
Muzah harus dapat menutupi talapak kaki dan mata kaki dan
jika muzah kurang (tidak mencukupi)hingga mata kaki maka hukumnya tidak boleh
untuk mengusap muzah.
Muzah harus di pakai orang yang dalam bepergian atau
buru-buru atas kebutuhanya seperti istirahat dalam bepergian.
Muzah harus dapat menahan air atau tidak menyerap air
Muzah yang di pakai harus suci.
Adapun orang yang boleh mengusap muzah dua adalah
Orang yang bertempet tinggal dan waktunya satu hari
Orang yang dalam perjalanan dan waktunya tiga hari
berturut-turut
Adapun hitungan waktu tersebut adalah dari orang itu hadas
dan hadasnya berahir setelah memakai muzah.
Sedangkan orang yang dalam perjalanan tetapi untuk tujuan
maksiat,itu boleh mengusap kaso kaki/muzah sperti halnya orang yang mukim /
brtenpat tinggal.
Adapun orang yang tetap atau langgeng hadastnyasetelah
memakai kaoskaki dan sebelum solat. Orang tersebut hadast maka ketika berwudhu
boleh untuk mengusap muzah.
Apabila seorang masih di dalam rumah & mengusap muzah
kemudian orang itu pergi/ orang yang mengusap tersebut dalam perjalanan,
kemudian bertampat tinggal / mukim belum ada satu hari satu malam, maka orang
tersebut harus menyempurnakan usapan tadi seperti halnya orang yang mukim.
Perkara yang wajib di usap ketika mengusap muzah yaitu
mengusap luarnya kaos& usapan tersebut mencukupi hingga dalamnya tetapi
tidak pada tumitnya kaos bagian samping kaos / bawahnya kaos.
Sunahnya mengusapkaoskaki ketika berwudhu yaitu melebarkan
jari-jari kaki
Mengusap muzah bias menjadi batal ketika
Orang yang mengusap tersebut melepas muzah
Orang yang mengusap tersebut melepas muzah karena sobek.
Orang yang mengusap junub/haid/nifas
Darah haid
Darah yang kelar pada masa haid. Yaitu anak yang berumur 9
tahun atau lebih dan anak yang mengeluarkan darah haid dalam keadaan sehat
tidak karena penyakit & tidak di sebabkan melahirkan
Adapun warnanya darah haid yaitu sangat merah sehingga
menjadi hitam dan panas yang sangat menyakitkan.
Darah nifas
Darah yang dikeluarkan wanita stelah melahirkan , adapun
darah yang keluar bersama lahirnya anak
atau sebelum lahirnya anak tersebut tidak bias tersebut tidak bias dikatakan
darah nifas.
Darah istikhadhoh
Darah yang dikeluarkan alat kelamin wanita di luar waktu
haid dan nifas dan orang yang mengeluarkan darah istihadhoh dalam keadaan tidak
sehat(sakit).
Waktunya darah haid , nifas ,istihadhoh.
Darah haid
Darah haid keluar sedikitnya satu hari satu malam (24
jam)tanpa berhenti darah haid keluarpaling lama 15 hari 15 malam dalam syarat
keluarnya darah dalam 15 hari tersebut di hitung dan dijumlah kalau sudah ada 24 jam maka dikatakan dara haid. Dan jika
beluma da 24 jam maka dikatakan darahistihadhoh pada umumnya darah haid
keluar 6a hari atau 7 hari
Darah nifas
Darah nifas paling sedikit keluar satu kecrotan dan paling
lam 60 hari pada umumnya darah nifas keluar 40 hari
Waktunya suci
Sedikitnya waktu suci antara dua haid itu 15 hari dan tidak
ada batasnya untuk lamanya suci. Biasanya jika haidnya 6 hari mak sucinya 24
hari dan kalau haidnya 7 hari maka sucinya 23 hari. Adapun sedikitnya umur
wanita yang haid adalah 9 tahun.
Adapun sedikitnya wanita hamil adalah 6 bulan dua hari dan
lamanya hamil adalah 4 tahun dan pada umumnya 9 bulan
Bebrapa perkara bagi seorang yang haid dan nifas
Haram membaca al qur’an
Haram menyentuh dan membawa al qur’an
Haram masuk masjid
Haram towaf baik wajib ataupun sunah
Haram bersetubuh
Haram dinikmati barang antara lutut dan pusar
Haram menjalankan solat baik wajib atau sunnah
Haram berpuasa baik wajib ataupun sunnah.
Perkara yang diharamkan bagi orang yang junub
Haram menjalankan solat wajib atau sunah
Haram membaca al qur’an
Haram menyantuh dan membawa al qur’an
Haram towaf wajib atau sunnah
Haram masuk dalam masjid
Perkara yang diharamkan bagi orang yang berhadast
Haram solat baik wajib atau sunnah
Haram towaf baik wajib atau sunnah
Haram membawa atau menyentuh al qur’an
Kitabu ahkamis solat
A pengertian
Salat menurut bahasa artinya adalah doa ,sedangkan menurut
istilah artinya adalah ucapan dan gerakan yang diawali takbirotul ikhrom dan
diahiri dangan salam dengan syarat-syarat yang telah di tentukan .
Salat yang di wajibkan itu ada 5 waktu
Salat dzuhur.(dinamakan dzuhur karena matahari jelas di
tengah-tengah langit ). Mulainya waktu dzuhur adalah dari condongnya matahari
dari tengah-tengah langit dan bayangan sebuah benda berada di timur.sedangkan
akhirnya waktu dzuhur adalah apbila ada barang yang bayangan barang tersebut
sama panjangnya dengan barang yang asli ,bayangan secara bahasa berarti
penghalang
Ashar(mendekati terbenamnya mata hari).salat ashar mempunyai
5 waktu
waktu utama (awal waktu ashar)
waktu yang di perboleh (mendekati waktu terbenamnya matahri)
waktu memilih
waktu boleh tanpa dimakruhkan
waktu haram
maghrib (waktu dari terbenamnya matahari) dari terbenamnya
matahari smpai hilangnya awan berwarna merah.
Isha’ ( dimulai dari terbenamnya awan merah sampai terbitnya
fajar shodiq) waktu sholat isha’ ada dua
Waktu ihtiyar : dari waktu isha’ sampai 1/3 malam
Waktu yang diperbolehkan: dari 1/3 malam sampai terbitnya
fajar shodiq
Shubuh (dimulai dari awalnya hari)
Shubuh mempunyai seperti hanya sholat asyar
i. Waktu fadhilah : awal waktu shubuh
Waktu permilih : dari waktu shubuh sampai ada terang
Waktu boleh dengan dimakruhkan sampai terbitnya matahari
Waktu boleh dengan tidak dimakruhkan: sampai adanya
kemerah-merahan
Waktu haram
(PASAL)
Syarat wajib salat
Syarat wajib
salat ada tiga:
Islam
Orang yang beragama non islam tidak wajib menjalankan salat
seperti orang kafir ,dan apabila orang kafir masuk islam maka ia wajib salat
tetapi tidak wajib mengqodzo salat .dan bagi orang murtad wajib salat dan
mengqodzo salat jika masuk islam lagi.
Baligh
Seorang yang belum baligh atau anak-anak tidak wajib untuk
salat tetapi kalau umurnya sudah mencapai 7 tahun anak itu harus sudah di suruh
untuk menjalankan salat .dan jika anak sudah berusia 10 tahun kalau
meninggalkan salat boleh di pukul
Orang yang berakal
Orang yang tidak mempunyai akal tidak wajib menjalankan
salat seperti orang gila ,ayan dan lain-lain.
Macam-macam salat sunah:
Salat id(idul adha dan idul fitri)
Salat gerhana(matahari dan rembulan)
Salat istisqoq
Salat rowatib(ada 17 rokaat)
-2 rokaat salat fajar
-4 rokaat sebelum dzuhur
-2 rokaat sesudah dzuhur
-4 rokaat sebelum ashar
-2 rokaat sebelum maghrib
-3 rokaat sebelum isha’
e. salat witir
Banyaknya rokaat salat witir ada 11 rokaat dan waktunya yaitu setelah salat asha’
sampai sebelum fajar
(PASAL)
Syarat –syarat salat
Syarat-syrat sebelum melakukan salat ada 5 :
Syarat adalah sesuatu yang harus di penuhi sebelum melakukan
sesuatu .
Sarat salat:
Suci dari hadas baik besar atau kecil dan suci dari beberapa
najis ,yang tidak diampuni baik di badan,pakaian maupun tempat
Menutup aurot apabila mampu ,dan apabila ada seorang yang
sendiri dan di dalam kegelapan jika salatnya itu telanjang bulat dan tidak
umak-umik dalam rukuk dan sujut maka salatnya tidak perlu di ulang ,pakaian
untuk menutupi aurot harus suci ,adapun aurot orang laki-laki adalah antara
pusar dan lutut,dan aurot perempuan amat(budak)sama dengan aurot orng laki-laki
,sedangkan aurot perempuan yang merdeka adalah semua badan kecuali wajah dan
telapak tangan.semua itu aurot di dalam salat ,adapun aurot perempuan yang
merdeka diluar salat adalah semua badan dan jika dalam keadaan sendiri sama
seperti aurot orang laki-laki .aurot menurut bahasa artinya kurang ,sedangkan
menurut istilah artinya sesuatu yang harus di tutupi dan haram apabila di lihat
meskipun itu milik sendiri.
Harus berada dalam tempat yang suci
Mengetahui masuknya waktu salat
Apabila salat dilakukan tanpa mengetahui waktunya maka
salatnya tidak sah .
Menghadap qibkat(ka’bah)
Orang menghadap itu bukan karena mulyanya ka’bah .yang haru
dihadapkan ke ka’bah adalah dadanya orang yang salat.
Seorang boleh salat dengan tidak menghadap qiblat apabila
menalami hal-hal seperti ini:
Apabila dalam keadaan takut did alam peperang an baik salat
fardzu ataupun sunah.
Dalam keadaan bepergian yang diperbolehkan tidak untuk
maksiat dan berada di kendaraan.
(PASAL)
Rukun salat
Rukun salat ada 17:
1. Niat.
Yaitu hendak ingin melakukan suatu pekerjaan sambil
dibarengi dengan waktu melakukan suatu pekerjaan itu. Sedangkan tempatnya niat
itu dalam hati. Maka, bila niat sholat itu sholat fardhu, wajiblah berniat
hendak berniat melakukan fardhunya sholat tersebut. Dan wajib pula bersengaja
melakukannya dengan tegas lagi gamblang yaitu subuh atau dhuhur misalnya.
Contoh : saya niat sholat fardhu subuh 2 rakaat karena allah
( dilafadzkan dalam hati bersamaan dengan takbirotul ihrom ).
Atau sholatnya itu berupa sholt sunnah yang mempunyai waktu
– waktu tertentu seperti sholat sunnah rowatib atau sholat yang mempunnyai
sebab ( dikerjakan karena ada sesuatu), seperti sholat istisqo’ , maka wajib
bersengaja melakukan dengan tegas dan jelas.
Contoh : saya niat sholat sunnah istisqo’ karena allah (
dilafadzkan dalam hati bersamaan dengan takbirotul ihrom ).
2. Berdiri pada waktu yang memungkinkannya untuk dapat
melakukannya.
Maka jika seseorang tidak mampu berdiri, ia diperkenankan
untuk sholat dalam keadaan duduk sesuka hatinya, sedangkan duduk yang lebih
utama adalah duduk iftirosy bagi orang yang sholat duduk.
3. Takbiratul ihrom.
Maka, bagi orang yang mampu mengucapkan kalimat takbir,
adalah wajib baginya untuk mengucapkan : “Allahu akbar”.
Dan tidak sah hukumya dalam selain kalimah diatas ( misal
subhanallah, alhamdulillah, dst).
Dan wajib pula hukumnya sewaktu bertakbir bersama – sama
niat melakukan sholat. Adapun imam Nawawi rahimahullah cenderung menganggap
cukup tentang masalah penyertaan niat dalam sewaktu bertakbir dengan cara yang
lazim dibenarkanan oleh kebanyakan orang.
4. Membaca Alfatihah.
Serta membaca basmalah yang mana ( menurut pandangan imam
syafi’i rahimahullah )adalah bagian dari fatihah. Barang siapa menggugurkan
satu tasydid atau satu huruf dari bacaan fatihah, atau mengganti satu huruf
dari bacaan fatihah dengan huruf yang lain dengan kesengajaan, maka bacaanya
tidaak dianggap sah, dan sholatnya juga tidak sah. Namun jika tidak sengaja,
maka hukumnya wajib mengulang kembali bacaan fatihahnya. Barang siapa yang
tidak mampu membaca fatihah ( dikarenakan baru masuk islam ), maka ia boleh
membaca dzikir sebagai ganti dari bacaan fatihahnya, sekiranya dzikirnya itu
tidak berkurang dari jumlah huruf – huruf dari surah alfatihah. Maka jika masih
tidak mampu juga, maka hendaklah ia baca surah alfatihah semampunya saja. (
jika hanya mampu baca basmalah, maka cukup baginya, dengan catatan harus cepat belajar fatihah ).
5. Ruku’.
Sedikit – dikitnya membungkuk dengan menyentuhkan ke – 2
telapak tangannya ke lututnya. ( Adapun yang paling afdhol adalah membentuk
sudut 90o dan meluruskan tulang belakang dengan lehernya )
Maka, jika seseorang itu tidak mampu membungkukkan badannya
seperti cara diatas, maka cukuplah baginya dengan membungkuk semampu dirinya.
6. Thuma’ninah dalam ruku’.
Yaitu berhenti dengan menenangkan diri, sewaktu dalam
keadaan ruku’. Mushannif ( pengarang kitab ) menjadikan tuma’ninah sebagai
rukun tersendiri dalam deretan rukun – rukun sholat. Hal ini sejalan dengan
pendapat imam Nawawi sebagaimana tersebut dalam kitab at – tahqiq. Sedangkan
selain mushannif menjadikannya sebagai suatu sifat yang mengikuti pada sederet
beberapa rukun sholat. Adapun paling sedikitnya lama tuma’ninah itu adalah
sekiranya membaca “ subhanallah “ dengan sangat pelan.
7. Bangun dari ruku’ ( I’tidal ).
Sebagaimana keadaan semula sebelum ruku’. Yaitu berdirinya
bagi orang yang tidak mampu berdiri dan duduknya orang yang tidak mampu
berdiri.
8. Tuma’ninah dalam i’tidal.
9. Sujud sebanyak 2 kali setiap rakaat.
Paling sedikit batasan sujud itu adalah menyentuhnya bagian
kulit keningnya orang yang melakukan sholat pada tempat sujudnya ( tanpa ada
penghalang kopiah atau mukenah ).
Dan yang paling sempurna dari sujud itu adalah bertakbir
untuk melakukan sujud, hal itu dilakukan tanpa mengangkat ke – 2 tangannya dan
meletakkan ke – 2 lututnya dahulu kemudian ke – 2 tangannya, kemudian kening
dan hidungnya.
10. Tuma’ninah
sewaktu dalam keadaan sujud.
Dan tidak dianggap sempurna yaitu sekedar menyentuhkan
kepalanya pada tempat sujud. tapi harus ditekan, yakni sekiranya apabila
dibawah keningnya itu ada kapas, maka kapas itu terdapat tanda – tanda tindihan
( pipih ) dan begitu juga dengan ke – 2 tangannya. (bila umpamanya ada kapas
juga di bawah telapaknya).
11. Duduk diantara 2
sujud
pada tiap – tiap rakaat, baik sholat dalam keadaan berdiri
atau duduk atau berbaring.
Barang siapa yang saking cepatnya duduknya, hingga posisi
duduknya tidak tegak, namun mendekati sujudnya ( sehingga berkesan seperti
tidak duduk ), maka tidak dianggap sah duduknya, sehingga sholatnya pun
dianggap tidak sah.
12. Tuma’ninah dalam duduk diantara 2 sujud.
13. Duduk yang terakhir ( tawarruk ).
14. Membaca doa tahiyyat
akhir dalam duduk terakhir.
Paling sedikitnya do’a tahiyyat adalah : “ ATTAHIYYATUL
MUBARAKATUS SHOLAWATUTH THOYYIBATU LILLAH, ASSALAMUA ALAIKA AYYUHANNABIYYU
WARAHMATULLAHI WABARAKATUH, ASSLALAMU’ALAINA WA’ALA IBADILLAHIS SHOLIHIN,
ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARROSULULLAH “ (
kehormatan , keberkahan, kesejahteraan dan kebaikan hanya bagi allah, semoga
salam sejahtera melimpah padamu wahai nabi dan rahmat Allah beserta
keberkahan-Nya. Semoga selamatlah kami dan sekalian hamba Allah yang shalih.
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah.dan aku bersaksi bahwa nabi
muhammad adalah utusan Allah ).
15. Membaca sholawat
atas nabi Muhammad S.A.W sewaktu dalam duduk terakhir.
Paling sedikitnya adalah : “ ALLAHUMMA SHALLI ALA SAYYIDINA
MUHAMMAD “. Sedangkan membaca sholawat atas keluarga nabi muhammad dan nabi
ibrohim adalah sunnah.
16. Mengucapkan salam
yang pertama dalam duduk terakhir.
Paling sedikitnya adalah : “ ASSALMU’ALAYKUM “ sebanyak 1
kali. Adapun yang paling sempurna adalah : “ ASSALU’ALAYKUM WARAHMATULLAHI
WABARAKATUH “ sebanyak 2 kali, saat berpaling ke kanan dan ke kiri.
17. Tartib (
berurutan ) sewaktu mengerjakan rukun – rukun sholat.
Maka tidak sah sholatnya
orang yang tidak urut dalam pengerjaan rukun – rukun sholat yang
tersebut diatas. ( والله اعلم بالصواب )
(PASAL)
Perbedaan pria dan wanita di dalam salat
PRIA.
Mengangkat siku dan merenggang, jauh dari lambungnya, perut
diangkat, juga merenggang jauh dari paha sewaktu ruku’ ketika sujud, serta
bersuara keras pada tempatnya (pada shalat jahr). Jika terjadi sesuatu
kekeliruan imam dalam shalat, maka bertashbih dengan mengucapkan سبحان الله
dengan maksud dzikir, atau dengan maksud pemberitahuan (kepada Imam). Maka hal
ini tidak membatalkan shalat, berbeda jika memang bermaksud memberitahu saja,
maka batal shalatnya.
Aurat pria (batasannya dalam shalat) mulai dari anggota
tubuh diantara pusar sampai lutut, tapi bukan berarti pusar dan lutut itu
aurat, dan tidak pula anggota tubuh di luar batasan tersebut.
WANITA
Wanita berbeda dengan pria dalam 5 perkara, yaitu :
Bahwasanya wanita itu menghimpitkan setengah anggota tubuh
pada anggota lain, baik ketika ruku’ maupun sujud, yakni perut berhimpit dengan
pahanya.
Suaranya dipelankan, sewaktu melakukan shalat di sebelahnya
banyak pria lain (bukan suami/bukan mahramnya), berbeda jika shalat munfarid
yang jauh dari mereka (kaum pria), maka boleh jahr/bersuara keras.
Sewaktu shalat berjamaah, terjadi sesuatu kekeliauran pada
Imam, maka wanita mengingatkannya dengan bertepuk tangan, yakni perut telapak
tangan kanan (bagian dalam telapak tangan kanan) memukul punggung (bagian luar
telapak tangan kiri).
Jika melenceng dari ketentuan tersebut, maka batal
shalatnya, misalnya bertepuk tangan dengan perut kedua telapak tangannya dengan
maksud main-main (bergurau) walaupun pelan, padahal ia telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut terlarang, maka batal shalatnya. Dan ketentuan pada wanita
berlaku pula pada banci ( الخنثى ).
Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat yang wajib
ditutupi selain wajah dan telapak tangan, apabila mengerjakan shalat, bahkan
seluruh tubuhnya adalah aurat di luar shalat (kepada selain mahramnya).
Berbeda dengan wanita budak ( امة ), maka auratnya sama
dengan pria, yaitu anggota tubuh diantara pusar sampai lutut.
Sekilas mengenai, Syekh Syamsuddin Abu Abdillah, Muhammad
bin Qosim.
Beliau adalah الامام العالم العلامة شمس الدين أبو عبد الله
محمد بن قاسم الشافعى
Seorang Syekh (guru besar) yang ’alim, luas lagi mendalam
ilmu yang diberikan oleh Allah kepada beliau. Beliau terkenal dengan sebutan
Syamsuddin.
Beliau diangkat oleh para ulama dan kaum muslimin semasa
hidup beliau, sebagai Imamul Muslimin oleh para ulama sepeninggalnya. Beliau
tetap Imam Mujtahid yang berorisntasi pada Imam Mujtahid Mutlak, Imam Syafi’i.
PASAL
Perkara yang membatalkan salat
Perkara yang membatalkan shalat ada empat belas, yaitu:
1. Berhadats (seperti kencing dan buang air besar).
2. Terkena najis, jika tidak dihilangkan seketika, tanpa dipegang
atau diangkat (dengan tangan atau selainnya).
3. Terbuka aurat, jika tidak dihilangkan seketikas.
4. Mengucapkan dua huruf atau satu huruf yang dapat difaham.
5. Mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa dengn sengaja.
6. Makan yang banyak sekalipun lupa.
7. Bergerak dengan tiga gerakan berturut-turut sekalipun
lupa.
8. Melompat yang luas.
9. Memukul yang keras.
10. Menambah rukun fi’li dengan sengaja.
11. Mendahului imam dengan dua rukun fi’li dengan sengaja.
12. Terlambat denga dua rukun fi’li tanpa udzur.
13. Niat yang membatalkan shalat.
14. Mensyaratkan berhenti shalat dengan sesuatu dan ragu
dalam memberhentikannya.
PASAL
Hukum beberapa perkara yang di tinggal dalam salat
Perkara yang di tinggal dalam salat ada 3:
Fardzu atau rukun salat
Sunah ab’ad
Sunah hai’ad
Rukun salat adalah
perkara yang tidak bias dig anti dengan sujud syahwi jika seorang
meninggalkan rukun salat di dalam salatnya .tetapi apabila seseorang baru saja
mengucapkan salam dan ingat rukun salat yang tertinggal maka orang itu wajib
meneruskan salatnya dan mengganti rukun yang telah di tinggal
sujud syahwi adalah
sujud yang di sunahkan apabila seorang meninggalkan perkara yang di perintah
atau menjalankan perkara yang dicegah dalam salat.
Sunah ab’ad adalah perkara yang tidak di hitung pada saat
setelah melakukan fardzu atau rukun salat.
Contoh ,pada saat melakukan seorang lupa melakukan tasyahud
awal dan ingat pada saat I’tidal maka
tasyahudnya tidak dihitung ,dan jika seorang itu sengaja meninggalkan tasyahud
maka salatnya batal dan apabila seorang
itu lupa atau tidak tahu maka salatnya tidak batal dan dan jika orang itu
ma’mum maka wajib berdiri karena untuk mengikuti imam.
Adapun yang termasuk sunah ab’ad adalah :
Tasyahud awal
Duduk tasyahud awal
Qunut dalam salat subuh
dan pada pertengahan akhir bulan ramadzan pada salat witir
Berdiri karena qunut
Sholawat pada nabi
Muhammad di tasyahud awal
Sholawat pada nabi Muhammad
dan keluarga nabi di tasyahud akhir.
Sunah hai’at seperti tasbih adalah perkara yang tidak perlu
melakukan sujud syahwi apa bila meninggalkanya baik sengaja ataupun tidak dan
apabila seorang ragu dalam hitunganrokaat salat seperti empat rokaat atau tiga
rokaat maka lebih baik meneruskan salat dan melakukan sujud syahwi.
PASAL
Waktu yang di makruhkan untuk salat
Waktu-waktu yang di Makruhkan Untuk Melaksanakan Sholat
Ada lima waktu yang tidak diperkenankan melakukan sholat
bahkan sebagian Ulama diantaranya penulis kitab Al-Mabadi’ Al-Fiqhiyah (Bab II)
mengatakan haram melakukan sholat kecuali sholat yang memiliki sebab. Kapan
sajakah waktu itu? Yaitu :
Setelah sholat shubuh dan berakhir sampai dengan terbitnya
matahari.
Ketika terbitnya matahari dan berakhir sampai dengan
matahari naik dengan perkiraan seukuran satu tombak (masuk waktu sholat Dhuha).
Ketika matahari berada di tengah-tengah langit (istiwa’)
dengan sekiranya tidak ada bayang-bayang suatu benda dan berakhir sampai
tergelincirnya matahari (bergesernya matahari ke barat dan munculnya bayangan
ke arah timur).
Setelah sholat ashar dan berakhir sampai terbenamnya
matahari.
Ketika terbenamnya matahari sampai dengan sempurna
terbenamnya.
Catatan :
Waktu-waktu yang dimakruhkan dalam melakukan sholat yang
tidak memiliki sebab ada lima, yang tiga berhubungan dengan waktunya, yaitu
waktu terbitnya matahari sampai matahari mulai naik seukuran satu tombak, waktu
istiwa’ sampai tergelincirnya matahari, dan waktu ketika matahari terbenam
(tampak kuning) sampai sempurna terbenamnya. Adapun dalil yang menunjukkan hal
tersebut adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin Amir RA, ia
berkata :
“Tiga waktu yang telah Rosulullah larang kepada kami untuk
melakukan sholat dalam waktu tersebut atau mengubur orang-orang yang meninggal
: ketika terbitnya matahari (tampak jelas) sampai matahari mulai naik, ketika
orang berdiri (tidak nampak bayangan dirinya) dampai matahari tergelincir
(mulai tampak bayangan sebelah timur), dan ketika matahari mulai condong untuk
terbenam (merah kekuning-kuningan)”.
Adapun alasan dimakruhkannya tiga waktu itu untuk melakukan
sholat, karena ada dalil Hadits Nabi yang diriwayatkan Asy-Syafi’i, yaitu :
“Sesungguhnya bersamaan dengan terbitnya matahari terdapat
tanduk setan, maka ketika matahari mulai naik maka hilang, ketika matahari
istiwa’ terdapat setan yang bersamaan, ketika matahari mulai tergelincir maka
menghilang, ketika matahari mulai mendekati terbenam maka terdapat setan, maka
ketika matahari sudah sempurna tenggelam setan hilang”.
Yang dua yang terakhir berhubungan dengan perbuatan yaitu
sholat shubuh atau sholat ashar, kalau kita melakukan sholat shubuh atau sholat
ashar diawal waktu maka waktu makruh melalukan sholat setelah dua sholat
tersebut menjadi panjang, tapi sebaliknya bila kita melakukan sholat shubuh atau
sholat ashar diakhir waktu maka waktu makruhnya semakin pendek dan sempit.
Dalil yang menerangkan hal tersebut adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dan Muslim dari Shohabat Abu Hurairah RA, yaitu :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang untuk melakukan
sholat setelah sholat ashar sampai terbenamnya matahari dan melakukan sholat
setelah sholat shubuh sampai terbitnya matahari”.
Adapun maksud ungkapan para Ulama tentang hal ini, apabila
ada orang menjama’ taqdim (mengumpulkan dua sholat diwaktu sholat pertama)
seperti mengumpulkan sholat dhuhur dna ashar dilakukan pada waktunya sholat
dhuhur dengan alasan bepergian atau sakit atau hujan misalnya, maka waktu
makruh untuk melakukan sholat setelah sholat ashar tetap berlaku seperti hukum
semula.
Namun Imam Al-Bandayanji menjelaskan tentang hal ini yang
dinukil dari sahabatnya yang ia ambil dari Imam Syafi’i, ya, menurut Imam Ammad
bin Yunus bahwa melakukan sholat setelah sholat ashar ketika dijama’ taqdim itu
tidak dimakruhkan. Ungkapan seperti ini pun diikuti oleh sebagian Ulama, namun
menurut Imam Al-Asnai, hal ini tertolak dari Nash Imam Syafi’i.
Pelarangan sholat pada waktu-waktu tersebut itu
mengecualikan waktu dan tempat, yaitu :
Waktu ketika Istiwa’ pada hari jum’at, diantara alasannya adalah
bahwa pada waktu istiwa’ itu adalah waktu dimana rasa kantuk mulai menyerang
hebat, maka untuk menolaknya adalah dianjurkan untuk sholat sunnahh agar
wudhunya tidak menjadi batal.
Kalau tempat adalah Kota Makkah, jadi tidak ada kemakruhan
sama sekali untuk melakukan sholat apapun atau kapan pun di Kota Makkah ini,
alasannya adalah untuk mengagungkan dan menghormati kota ini. Tapi menurut qaul
yang shahih bahwa kota Makkah itu maksudnya adalah tanah Haram (kota Makkah dan
Madinah), ada qaul lain yang menyatakan hanya kota Makkah saja. Bahkan ada qaul
lagi bahwa kota Makkahnya hanya di Masjidil Haramnya saja, jadi selainnya itu
tidak meskipun termasuk kata Makkah.
Pelarangan sholat itu pun hanya berlaku bagi sholat-sholat
yang tidak memiliki sebab, jadi kalau memang sholat tersebut memiliki sebab
maka sama sekali tidak ada pelarangan (makruh) dan sebabnya terletak di awal
atau bersamaan, seperti :
Mengqodhoi sholat wajib yang tertinggal
Melakukan sholat sunnah yang dijadikan kebiasaan (wirid)
Sholat Jenazah, Sujud Tilawah, Sujud Syukur
Sholat gerhana matahari atau rembulan
Sholat Istisqo’ (sholat minta hujan) manurut qaul Ashoh.
Namun ada beberapa sholat yang memiliki sebab tapi tetap
dimakruhkan sholat, seperti :
Sholat Istikhoroh (minta kepada Alloh supaya dimantapkan
memilih salah satu dari 2 hal yang sama-sama dianggap baik), dengan alasan
bahwa sebabnya terletak di akhir.
Sholat dua rokaat Ihram (menurut qaul Ashoh), dengan alasan
bahwa sebabnya terletak di akhir.
Adapun mengenai sholat tahiyatul masjid (penghormatan pada
masjid), apabila masuk masjidnya karena ada tujuan seperti i’tikaf atau belajar
atau juga menunggu sholat maka tidak dimakruhkan, dengan alasan sebabnya adalah
bersamaan, tapi apabila masuk masjidnya bukan karena tujuan apapun, maka dalam
kitab Raudhoh dan syarahnya tergolong makruh.
PASAL
Salat Jamaah
1. Hukum Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain atas setiap individu
kecuali yang mempunyai udzur.
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya hendak menyuruh untuk
dicarikan kayu bakar, saya akan menyuruh (para sahabat) mengerjakan shalat,
lalu ada yang mengumandangkan adzan untuk shalat (berjama’ah), kemudian saya
menyuruh sahabat (lain) agar mengimami mereka, kemudian aku akan berkeliling
memeriksa orang-orang (yang tidak shalat berjama’ah), kemudian akan aku bakar
rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata
seorang diantara mereka mengetahui bahwa dia akan mendapatkan daging yang gemuk
atau dua paha unta yang baik, niscaya ia akan hadir dalam shalat isya’
(berjama’ah).” (Muttafaqun ‘alaih:
Fathul Bari II: 125 no: 644 dan lafadz ini lafadz, Muslim 1: 451 no: 651
sema’na, ‘Aunul Ma’bud II: 251 no: 544, Ibnu Majah I: 259 no: 79l Ibnu Majah
tidak ada kalimat terakhir, dan Nasa’i II: 107 persis dengan lafadz Imam
Bukhari).
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, telah datang kepada Nabi
saw. seorang sahabat buta seraya berkata, “ Ya Rasulullah, sesungguhnya saya
tidak mempunyai penuntun yang akan menuntunku ke masjid.” Kemudian ia memohon kepada Rasulullah agar
beliau memberi rukhsah (keringanan) kepadanya, sehingga ia boleh shalat (wajib)
di rumahnya. Maka beliau pun kemudian memberi rukhsah kepadanya. Tatkala ia
berpaling (hendak pulang), beliau memanggilnya, lalu bertanya, “Kamu mendengar
suara adzan untuk shalat?” Jawabnya,”Iya, betul.” Sabda beliau (lagi), “ (Kalau begitu) wajib
kamu memenuhi seruan adzan itu!“ (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 320, Muslim I:
452 no: 653, dan Nasa’i II: 109).
Dari Abdullah (Ibnu Mas’ud) r.a, ia berkata, “Barang siapa
senang bertemu Allah di hari kiamat kelak dalam keadaan muslim, maka hendaklah
dia memperhatikan shalat lima waktu ketika dia diseru mengerjakannya, karena
sesungguhnya Allah telah mensyairi’atkan kepada Nabimu sunanul huda (sunnah
sunnah yang berdasar petunjuk), dan sesungguhnya shalat lima waktu (dengan
berjama’ah) termasuk sunnanul huda. Andaikata kamu sekalian shalat di rumah
kalian (masing-masing), sebagaimana orang yang menyimpang ini shalat (wajib)
dirumahnya, berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu, manakala kamu telah
meninggalkan sunnah Nabimu, berarti kamu telah sesat. Tak seorang pun bersuci
dengan sempurna, kemudian berangkat ke salah satu masjid dan sekian banyak
masjid-masjid ini, melainkan pasti Allah menulis baginya untuk setiap langkah
yang ia lakukan satu kebaikan dan dengannya Dia mengangkatnya satu derajat dan
dengannya (pula) Dia menghapus satu kesalahannya. Saya telah melihat kamu
(dahulu), dan tidak ada yang seorangpun yang meninggalkan shalat berjama’ah dan
kalangan sahabat, kecuali orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya, dan
sungguh telah ada seorang laki-laki dibawa ke masjid dengan dipapah oleh dua
orang laki-laki hingga didirikannya di shaf.” (Shahih: Shahih Jinu Majah no:
631, Muslim I : 453 no: 257 dan 654, Nasa’i II: 108, unul Ma’bud II: 254 no:
546 dan Ibnu Majah I: 255 no: 777).
Dari Ibnu Abbas dan Nabi saw., beliau bersabda, “Barang
siapa mendengar panggilan (adzan), lalu tidak memenuhinya, maka sama sekali
tiada shalat baginya, kecuali orang-orang yang berudzur.” (Shahih: Shahih Ibnu
Majah no: 645, Ibnu Majah I: 260 no: 793, Mustadrak Hakim I: 245 dan Baihaqi
III: 174)
2. Keutamaan Shalat Berjama’ah
Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Shalat
jama’ah melebihi shalat sendirian dengan (pahala) dua puluh tujuh derajat.”
(Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari II: 131 no: 645, Muslim I: 450 no: 650, Tirmidzi
I: 138 no: 215, Nasa’i II no: 103 dan Ibnu Majah I: 259 no: 789).
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Shalatnya seseorang dalam jama’ah melebihi shalatnya di rumahnya dan di
pasarnya dua puluh lima lebih, yang demikian itu terjadi yaitu apabila ia
berwudhu’ dengan sempurna lalu pergi ke masjid hanya untuk shalat (jama’ah).
Maka ia tidak melangkah satu langkahpun, kecuali karenanya diangkat satu
derajat untuknya dan karenanya dihapus satu kesalahan darinya. Manakala para
malaikat senantiasa mencurahkan rahmat kepadanya (dengan berdo’a kepada Allah),
ALLAHUMMA SHALlI ‘ALAIH, ALLAHUMMARHAMHU (ya Allah limpahkanlah barakah
kepadanya, dan curahkanlah barakah kepadanya).” Dan senantiasa seorang di
antara kamu dianggap berada dalam shalat selama menunggu (pelaksanaan) shalat
berjama’ah.” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 131 no: 647, Muslim I :459 no:
649 dan ‘Aunul Ma’bud 11:265 no: 555).
Dari Abu Hurairah r.a dan Nabi saw. bersabda, “Barang siapa
berangkat sore dan pagi ke masjid (untuk shalat jama’ah), niscaya Allah
menyediakan baginya tempat tinggal di surga setiap kali ia berangkat sore dan
pagi (ke masjid).” Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 148 no: 662 dan Muslim I
: 463 no: 669)
3. Bolehkah Kaum Wanita Pergi Shalat Berjamah Di Masjid?
Kaum wanita boleh pergi ke masjid untuk mengikuti shalat
jama’ah dengan syarat mereka harus menjauhkan diri dan hal-hal yang dapat
menimbulkan gejolak syahwat dan yang kiranya mengumandang fitnah, yaitu berupa
perhiasan dan wangi-wangian (Fiqhus Sunnah I: 193).
Dari Ibnu Umar r.a. dan Nabi saw. bersabda, “Janganlah kamu
sekalian mencegah istri-istrimu (pergi ke) masjid-masjdi namun (ingat)
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Shahih : Shahih Abu Daud no: 530,
‘Aiunul Ma’bud II: 274 no: 563 dan al Fathur Rabbani V : 195 no: 1333).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Setiap wanita yang memakai wangi-wangian, maka jangan hadir shalat Isya’
bersama kami.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2702, Muslim I: 328 no:
444, ‘Aunul Ma’bud XI: 231 no: 4157, dan Nasa’I VIII: 154).
Darinya (Abu Hurairah) r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,
“Janganlah kami menghalangi hamba-hamba Allah yang perempuan untuk (pergi ke)
masjid-masjid Allah, namun (ingat) hendaklah mereka berangkat (ke masjid) tanpa
memakai parfum.” (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no: 529, ‘Aunul Ma’bud 11:273
no: 561, al-Fathur Rabbani V: 193 no: 1328).
4. Rumah-Rumah Mereka Lebih Baik Bagi Mereka
Kaum perempuan, sekalipun boleh pergi ke masjid, namun
shalat wajib di rumahnya adalah lebih utama.
Dari Ummu Humaid as-Sa’idiyah bahwa ia perah datang kepada
Rasulullah saw. seraya berkata, “Ya Rasulullah, sejatinya saya ingin shalat
bersamamu.“ Jawab beliau, “Sungguh aku mengetahui bahwa engkau ingin sekali
shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di dalam
kamarmu, shalatmu di dalam kamarmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di
kampungmu, shalatmu di kampungmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di masjid
kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik bagimu daripada shalatmu
dimasjidku ini.” (Hasan: al-Fathur Rabbani V: 198 no: 1337 dan Shahih Ibnu
Khuzai’mah III: 95 no: 1689).
5. Adab Berangkat Ke Masjid
Dari Abu Qatadah r.a. ia berkata, “Ketika kami sedang shalat
bersama Nabi saw., tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh orang-orang (yang
berangkat ke masjid). Tatkala Rasulullah selesai shalat, beliau bertanya, “Apa
yang terjadi pada kalian?” Jawab mereka, “Kami terburu-buru ingin ikut shalat
jama’ah.” Sabda beliau, “Janganlah kamu berbuat (begitu lagi). Apabila kalian
hendak datang (ke masjid untuk) shalat jamaah, maka kamu harus (berangkat)
dengan tenang. Apa yang kamu dapati, maka shalatlah (seperti mereka) dan apa
yang terlewatkan darimu, naka sempurnakanlah!” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari
II: 116 no: 635, dan Muslim 1: 421 no: 603).
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. bersabda, “Apabila
kamu mendengar iqamah, maka berjalanlah (ke masjid untuk) shalat berjama’ah,
dengan tenang dan penuh kewibawaan serta janganlah tergesa-gesa, apa yang kamu
dapati, maka shalatlah (seperti mereka) dan apa yang terlewatkan darimu, maka
sempurnakanlah.” (Muttafaqun ‘Alaih : Fathul Bari II : 117 no: 636, dan lafadz
ini baginya, Muslim I: 420 no: 602, ‘Aunul Ma’bud II: 278 no: 568, Tarmidzi I:
205 no: 326, an-Nasa’I II: 114 dan Ibnu Majah I: 255 no: 775).
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Apabila seorang di antara kamu berwudhu’ dengan sempurna, kemudian berangkat
menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mencengkeram jari-jarinya, karena
sesungguhnya ia dianggap berada dalam shalat.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no:
316, Sunan Tirmidzi I: 239 no: 384 dan ‘Aunul Ma’bud II: 268 no: 558).
6. Do’a Keluar Dari Rumah
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa-yakni orang yang keluar dan rumahnya mengucapkan, “BISMILLAH,
TAWAKKALTU ALALLAH, WA LAA HAULAA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH (Dengan
(menyebut) nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah tiada daya upaya kecuali
dengan (idzin) Allah),” Maka dikatakan kepadanya, “Engkau telah diberi petunjuk
dan telah dicukupi serta dilindungi.” Dan syaitan menjauh darinya.” (Shahih:
Shahihul Jami’ no: 6419, ‘Aunul Ma’bud XIII: 437 no: 5073, dan Tirmidzi V: 154
no: 3486)
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia pernah tidur di rumah
Rasulullah saw. Kemudian dia menerangkan sifat shalat malam beliau, lalu
berkata, “Muadzin mengumandangkan adzan, lalu beliau keluar ke (masjid untuk)
shalat berjama’ah sambil berdo’a, “ALLAHUMMAJ ‘AL FII QALBII NUURAA, WA FII
LISANII NUURAA, WAJ’AL FII SAM’II NUURAA, WAJ’AL FII BASHARII NUURAA, WAJ’AL
MIN KHALFII NUURA, WAMIN AMAMII NUURAA, WAJ’AL MIN FAUQII NUURAA, WA MIN TAHTII
NUURAA, ALLAHUMMA A’THINII NUURA (= Ya Allah, jadikanlah hatiku bercahaya dan
lisanku bercahaya, dan jadikan pendengaranku bercahaya, jadikanlah
penglihatanku bercahaya, jadikanlah belakangku bercahaya, depanku bercahaya dan
bawahku bercahaya. Ya Allah, berilah pada diriku cahaya).” (Shahih: Mukhtasar
Muslim no : 379, Muslim I: 530 no: 191 dan 763 dan t’inul Ma’bud IV: 230 no:
1340).
7. Do’a Ketika Akan Masuk Masjid
Dari Abdullah bin Amr al-’Ash r.a. dan Nabi saw., bahwa
apabila beliau akan masuk masjid beliau mengucapkan, “AA’UUDZU BILLAHIL ‘AZHIM
WA BIWAJHIHILL KARIIM WA SULTHANIHIL QADIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIM (Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, Kepada Wajah-Nya Yang Mulia, dan
kepada kekuasaan-Nya yang azali dari godaan yaitan yang terkutuk).” (Shahih:
Shahih Abu Daud no : 441 dan ‘Aunul Ma’bud II: 132 no: 462).
Dari Fathimah binti Rasulullah saw., ia berkata: Adalah
Rasulullah saw. apabila hendak masuk masjid, beliau mengucapkan “BISMILLAAH,
WASSALAAMU ‘ALAA RASULILLAH, ALLAHUMMAGH FIRLII DZUNUUBII WAFTAHLII ABWAABA
RAHMATIK (Dengan menyebut nama Allah, dan kesejahteraan mudah-mudahan
tercurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukalah
untukku pintu-pintu rahma-Mu). “Dan apabila beliau hendak keluar (dan masjid),
beliau mengucapkan, “BlSMILLAAH, WASSALAAMU ‘ALAA RASUULILLAAH, ALLAHUMMAGH FIRLII
DZUNUUBI WAFTAHLII ABWAABA FADHLIK (Dengan (menyebut) nama Allah, dan
kesejahteraan mudah-mudahan dilimpahkan kepada Rasulullah Ya Allah, ampunilah
dosa-dosaku dan bukalah pintu-pintu karunia-Mu). (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:
625, Ibnu Majah I: 253 no: 771 dan Tirmidzi l:197 no: 313).
8. Shalat Tahiyatul Masjid
Apabila seorang masuk masjid, ia wajib shalat tahiyatul
masjid dua raka’at sebelum duduk.
Dari Abu Qatadah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila
seorang di antara kamu masuk masjid maka janganlah (langsung) duduk sebelum
shalat (tahiyatul masjid) dua raka’at.” (Murtafaqun ‘Alaih: Fathul Bari III: 48
no: 1163, Muslim I: 495 no: 714, ‘Aunul Ma’bud II: 133 no: 463, Tirmidzi I: 198
no: 315 dan Ibnu Majah I: 24 no:1013 dan Nasa’i II: 53).
Kami penulis mengatakan wajib shalat tahiyatul masjid
berdasarkan dzahir perintah hadits di atas yang tidak ada qarinah-qarinah
(indikasi indikasi) yang memalingkannya dan dzahirnya sebagai sebuah kewajiban,
kecuali hadits Thalhah bin Ubaidullah:
Dari Thalhah bin ’Ubaidullah r.a. bahwa ada seorang arab
badwi datang kepada Rasulullah saw. dengan rambut kusut seraya berkata, ”Ya
Rasulullah (tolong) informasikan kepadaku, shalat apa saja yang Allah fardhukan
kepadaku?”Jawab beliau, “Shalat lima waktu, kecuali jika kamu mengerjakan
shalat tathatwwu’.” Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari I: 106 no: 46, Muslim I: 40
no: 11, ‘Aunul Ma’bud II: 53 no: 387 dan Nasa’i IV: 121).
Di dalam Nailul Authar I : 364, Imam Asy-Syaukani menulis
sebagai berikut, “Upaya menjadikan hadits Thalhah ini sebagai dalil yang
menunjukkan tidak wajibnya shalat tahiyatul masjid harus dikaji ulang, menurut
hemat saya (asy-Syaukani), sebab apa saja yang terdapat pada Mabadi Ta’lim
(dasar-dasar ajaran Islam) tidak boleh dilibatkan dalam memalingkan dalil yang
datang sesudahnya. Jika tidak, maka kewajiban-kewajiban syari’at seluruhnya
hanya terbatas pada shalat lima waktu saja. Ini jelas-jelas berbenturan dengan
ijma’ ulama’ dan mementahkan mayoritas kandungan svari’at Islam. Yang haq,
bahwa dalil yang shahih yang datang belakangan yang harus sesuai dengan
ketentuannya, baik yang wajib, sunnah, ataupun lainnya. Dan, memang dalam
masalah ini terdapat khilaf, namun pendapat orang mewajibkanlah yang paling
kuat diantara dua pendapat.” Selesai.
Pendapat yang mengokohkan mewajibkan shalat tahiyatul masjid
ini diperkuat oleh perintah Nabi walaupun beliau sedang berkhutbah:
Dari Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata, “Telah datang
seorang sahabat di saat. Nabi saw. berkhutbah di hadapan jama’ah shalat Jum’at,
lalu beliau bertanya (kepadanya), “Hai fulan, sudahkah engkau shalat (tahiyatul
masjid)?” Jawabnya, “Belum.” Sabda beliau lagi, “(Kalau begitu bangunlah lalu
ruku’lah (shalatlah).” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 407 no: 930, Muslim
II: 596 no: 875, ‘Aunul Ma’bud IV: 464 no: 1102, Tirmidzi II: 10 no: 508, Ibnu
Majah I: 353 no: 1112 dan Nasa’i III: 107).
9. Bila Iqamah Telah Dikumandangkan, Tiada Shalat Lagi,
Kecuali Shalat Wajib
Dari Abu Hurairah r.a. dan Nabi saw., beliau bersabda,
“Apabila iqamah sudah dikumandangkan, maka sama sekali tiada shalat, kecuali
shalat wajib.” (Shahih: Mukhtsar Muslim no: 263, Muslim I: 493 no: 710, ‘Aunul
Ma’bud IV: 142-143 no: 1252, Tirmidzi 1:264 no: 419, Ibnu Majah 1:364 no: 1151
dan Nasa’i II no: 116).
Dari Malik bin Buhainah bahwa Rasulullah pernah melihat
seorang sahabat sedang mengerjakan shalat dua raka’at diwaktu iqamah
dikumandangkan. Tatkala Rasulullah selesai shalat, beliau dikerumuni oleh para
sahabat. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah shalat subuh empat rakaat?! Apakah
shalat shubuh empat raka’at?!” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 148 no: 663
dan lafadz mi baginya, dan Muslim I: 493 no: 711)
10. Fadhilah Mendapatkan Takbiratul Ihram Bersama Imam
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa
yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah mendapatkan
takbiratul ihram, niscaya ditetapkan baginya dua kebebasan: bebas dan siksa
neraka dan (kedua) bebas dan sifat nifak.” (Hasan: Shahih Triniidzi no: 200 dan
Tirmidzi I: 152 no: 241).
11. Orang Yang Datang Ke Masjid Di Saat Imam Sudah Selesai
Shalat
Dari Sa’id bin al-Musayyab r.a. bahwa ada seorang sahabat
dan Anshar berada dalam detik-detik kematian, berkata: Sesungguhnya aku akan
menceritakan hadits kepada kamu sekalian yang tidak akan kusampaikan kepadamu,
kecuali mendapatkan ridha Allah. Saya pernah mendengar Rasulullah saw.
bersabda, “Apabila seorang diantara kamu berwudhu’ dengan sempurna, kemudian
pergi ke (masjid untuk) shalat jama’ah, ia tidak mengangkat kaki kanannya,
melainkan Allah Azza Wa Jalla pasti menulis baginya satu kebaikan, dan tidak
meletakkan kaki kirinya melainkan pasti Allah Azza Wa Jalla menghapus satu
kesalahan darinya. Maka hendaklah seorang diantara kamu memilih (tempat) yang
jauh atar dekat (ke masjid). Jika ia datang ke masjid, lalu shalat berjama’ah,
niscaya diampuni dosa-dosanya. Jika ia datang ke masjid sedangkan mereka sudah
mengerjakan sebagian (dari shalat wajib) dan tinggal sebagian yang lain, maka
hendaklah ia shalat mengikuti mereka, lalu sempurnakan sisanya maka demikian
itu pahalanya sama dengan mereka. Dan jika dia datang ke masjid, sementara
mereka sudah selesai mengerjakan shalat, lalu dia menyempurnakan shalat (yang
ketinggalan), maka yang demikian itu sama pahalanya den mereka.” (Shahih:
Shahih Abu Daud no: 527 dan ‘Aunul Ma’bud II: 270 n 559).
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda,
“Barangsiapa berwudhu’
dengan sempurna, kemudian berangkat (ke masjid), lalu ia
mendapati jama’ah sudah selesai shalat, niscaya Allah Azza Wa Jalla memberinya
sebesar pahala orang yang mengerjakannya dan mengikutinya, Hal itu tidak
mengurangi sedikitpun pahala mereka.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 528, ‘Aunul
Ma’bud II: 272 no: 560 dan Nasa’i II: 111).
12. Orang Yang Masbuq Harus Mengikuti Imam Dalam Keadaan Apapun
Ia
Dari Ali bin Abi Thalib dan Mu’adBab Shalat Jama’ahz bin
Jabal r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu
datang (ke masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan imam berada dalam satu
gerakan, maka lakukanlah sebagaimana yang dikerjakan oleh imam itu !“ (Shahih:
Shahih Tirmidzi no: 484, Shahihul Jami’us Shaghir no: 261 dan Tirmidzi II no:
51 no: 588).
13. Kapan Dianggap Mendapatkan Satu Raka’at
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Apabila kamu datang ke (masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan kami dalam
keadaan sujud, maka sujudlah, namun janganlah kamu menghitungnya sebagai satu
raka’at, barang siapa yang yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia
mendapatkan shalat mendapatkan 1 raka’at tersebut).” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 468 n’Aunu1 Ma’bud III: 145 no: 875).
14. Orang Yang Ruku’ Di Belakang Shaf
Dari Abu Bakrah r.a. bahwa ia pernah mendapati Nabi saw.
sedang ruku’, lalu iapun ruku’ sebelum sampai shaf. Kemudian kejadian tersebut
sampai kepada Nabi saw., maka beliau bersabda, “Mudah-mudahan Allah menambah
antusiasmu, maka jangan kau ulangi lagi (ruku’ di belakang shaf itu).” (Shahih:
Shahihul Jami’us Shaghir no: 3565, Fathul Bari II: 267 no: 783, Aunul Ma’bud
II: 378 no: (-79-680, dan Nasa’i II: 118).
Dari Atha’ bahwa ia mendengar Ibnu Zubair menegaskan di atas
mimbar, “Apabila seorang kamu masuk masjid, sementara jama’ah sedang ruku’ maka
ruku’lah sampai kamu masuk (ke dalam masjid), kemudian kamu berjalanlah sambil
ruku’ hingga masuk ke shaf, karena yang demikian itu sunnah Nabi. “(Shahihul
Isnad : ash-Shahihah no: 229).
Dari Zaid bin Wahb, ia bercerita, “Saya pernah keluar
bersama Abdullah bin Mas’ud dari rumahnya menuju masjid. Tatkala kami sampai
dipertengahan masjid, imam ruku’ maka Ibnu Mas’ud bertakbir dan ruku’ aku ikut
jugs bersamanya, kemudian kami berjalan (terus) dan kami sampai-sampai ke shaf
ketika jama’ah mengangkat kepalanya (dan ruku’). Tatkala imam selesai dari
shalatnya, aku berdiri (lagi) karena saya berpendapat bahwa saya tidak mendapatkan
(raka’at pertama) , maka kemudian Abdullah bin Mas’ud menarik tanganku dan
mendudukkanku. Kemudian dia menyatakan, “Sesungguhnya engkau benar-benar telah
mendapat (‘shalat dan raka’at pertama).” (Shahih: ash. Shahihah II: 52 dan
Baihaqi II: 90).
15. Imam Diperintah Memperpendek Bacaan
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila
salah seorang di antara kamu shalat untuk para makmum, maka perpendeklah karena
diantara makmum itu ada yang lemah, ada yang sakit, dan ada (pula) yang tua
renta. Namun apabila ia shalat untuk dirinya sendirian, maka perpanjanglah
semuanya!’ (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 199 no: 703 dan lafadz ini
baginya, Muslim I: 341 no: 467, Aunul Ma’bud III: 11 no: 780, Tirmidzi I: 150
no: 236 dan Nasa’i II: 94).
16. Imam Lebih Memanjangkan Rakaat Pertama
Dari Abu Sa’id r.a., berkata, “Sungguh shalat dzuhur sedang
dimulai, lalu ada diantara jama’ah yang (keluar) pergi ke Baqi’ untuk buang
hajat. (Setelah selesai) kemudian ia berwudhu’ lalu berangkat (ke masjid lagi)
sedangkan Rasulullah masih berada pada raka’at pertama, karena beliau sangat
memanjangkan raka’at pertama.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 930, Muslim I: 35 no:
454 dan Nasa’i II: 164)
17. Wajib Mengikuti Imam dan Larangan Mendahuluinya
Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya
dijadikan imam itu hanyalah untuk diikuti. Karena itu, apabila ia sudah takbir,
maka hendaklah kamu takbir, apabila sujud maka sujudlah kamu, dan apabila ia
mengangkat (kepala), maka angkatlah (kepalamu)…” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim 1:
3( no: 411, Fathul Bari II: 173 no: 689, ‘Annul Ma’bud II: 310 no: 587,
Tirmidzi I: 225 no: 358, Nasa’i III: 98, dan Ibnu Majah 1: 92 no: 12.38).
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Tidaklah
seorang diantara kamu merasa khawatir, bila (mengangkat kepalanya), Allah akan
menjadikan kepalanya sebagai kepala keledai, atau Allah akan menjadikan raut
wajahnya seperti wajah keledai?!“ (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 182 no:
691, Muslim I: 320 no: 427, ‘Aunul Ma’bud II: 330 no: 609, Tirmidzi U: 48 no:
579, Nasa’i II: 96 dan Ibnu Majah I: 308 no: 961).
18. Orang Yang Berhak Menjadi Imam
Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari r.a., bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Yang menjadi imam di suatu kaum ialah yang lebih mengerti isi kitab
Allah, kalau mereka dalam hal mengerti kitabullah sama, maka yang lebih
mengerti tentang sunnah Nabi di antara mereka, jika dalam hal pemahaman sunnah
Nabi sama, maka yang dahulu hijrah di antara mereka, apabila dalam hal hijrah
mereka sama, maka yang lebih dulu masuk Islam di antara mereka, dan janganlah
menjadi imam bagi orang lain di daerah kekuasaan orang itu dan janganlah duduk
di rumahnya di tempatnya yang khusus, kecuali dengan idzinnya.” (Shahih
Mukhtasar Muslim no: 316, Muslim I: 465 no: 673, Tirmidzi I: 149 no: 235, ‘Aunul
Ma’bud II: 289 no: 578, Nasa’i II: 76, Ibnu Majah I: 313 no: 980.\
Dalam riwayat mereka ada tambahan begini, “Jika dalam hal
hijrah mereka sama, maka yang lebih tua diantara mereka yang menjadi imam.”
Riwayat ini salah satu dari riwayat Imam Muslim.
Dalam hadits ini terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa
tuan rumah dan imam rawatib (imam tetap) serta semisalnya lebih berhak menjadi
imam shalat daripada selain mereka, kecuali mendapat izin dan mereka ini
didasarkan pada sabda Nabi saw, “Dan janganlah seorang menjadi imam bagi orang
di tempat kekuasaan orang itu.”
19. Anak Kecil Menjadi Imam
Dari Amr bin Salamah r.a., ia berkata: Tatkala terjadi
Fathul Mekkah, setiap kaum berlomba-lomba menyatakan keislamannya dan ayahku
telah mendahului keislaman kaumku. Tatkala ia datang (kepada mereka , ia
berkata, “Demi Allah, aku benar-benar datang kepada kamu sekalian dan sisi
Nabi, maka beliau berkata: Shalatlah begini pada waktu begini, dan shalatlah
begini pada waktu begini. Apabila (waktu) shalat tiba, hendaklah seorang
diantara kamu mengumandangkan adzan dan hendaklah yang paling banyak hafalan
Qur’annya yang menjadi iman kamu. “Kemudian para sahabat melihat-lihat,
ternyata tidak ada hafalan Qur’annya lebih banyak dan saya, karena sebelumnya
saya pernah belajar al-Qur’an kepada sejumlah musafir, kemudian mereka menunjuk
saya sebagai imam mereka, padahal saya masih berusia enam atau tujuh tahun.”
(Shahih: Shahih Nasa’i no: 761, Fathul Bari VIII: 22 no: 4302, ‘Aunul Ma’bud
293 no: 581, Nasa’i II: 80).
20. Orang Yang Shalat Fardhu Bermakmum Kepada Yang Shalat
Sunnah Atau Sebaliknya
Dari jabir bahwa Mu’adz bin Jabal shalat bersama Nabi,
kemudian kembali (pulang), lalu menjadi imam bagi kaumnya.” (Shahih: Mukhtasar
Halaman 278 Bukhari no:387, Fathul Bari II: 192 no:700, Muslim I:339 no:465,
‘Aunul Ma’bud III:776, Nasa’i II:102).
Dari Yazid bin al-Aswad bahwa ia pada waktu menginjak usia
remaja pernah shalat bersama Nabi saw.. Tatkala beliau selesai shalat, ternyata
ada dua sahabat yang tidak ikut shalat jama’ah di pojok masjid, lalu dipanggil
oleh beliau, kemudian dibawalah mereka berdua kepada beliau dengan menggigil
ketakutan beliau bertanya “Gerangan apakah yang menghalangi kalian untuk shalat
jama’ah dengan kami?” Jawab mereka berdua,” Sungguh kami telah shalat jama’ah
di perjalanan kami.” Sabda beliau (lagi), “Jangan begitu, manakala seorang
diantara kamu sudah shalat jama’ah di perjalanannya, kemudian ia mendapatkan
imam (sedang shalat), sedangkan ia tidak termasuk yang shalat, maka shalatlah
bersamanya, karena sejatinya shalat kedua itu sunnah baginya.” (Shahih: Shahih
Abu Daud no: 538, ‘Aunul Ma’bud II: 283 no: 571, Tarmidzi I: 140 no: 2 dan
Nasa’i II 112)
21. Orang Muqim Bermakmum Kepada Musafir Atau Sebaliknya
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Umar shalat dzuhur dengan
masyarakat Mekkah, dan beliau mengucapkan salam pada raka’at kedua, kemudian
berkata, “Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian, karena
sesungguhnya kami adalah orang-orang musafir!” (Shahih: Jami’ul Ushul V: 708
yang ditahqiq oleh Al-Anaa uth dan Mushnaf Abdur Razzaq no: 4369).
22. Apabila Musafir Bermakmum Kepada Orang Yang Muqim Harus
Menyempurnakan
Dari Musa bin Salamah al Hudzali r.a. berkata, “Saya pernah
bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., bagaimana cara shalat sendirian bila berada di
Makkah jawab Ibnu Abbas, “(Shalatlah) dua raka’at, ini adalah sunnah Abul Qasim
(Shahih : Irwa ul Ghalil no: 571 dan Muslim I : 479 no: 688 serta Nasa’I : 119)
Dari Abu Mujalazi, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada
Ibnu Umar, seorang musafir mendapatkan dua raka’at dari shalat kaum setempat,
yaitu orang-orang yang muqim apakah cukup baginya dua raka’at itu, ataukah ia
harus shalat (lengkap) seperti shalat mereka?” Ibnu Umar tertawa, lalu
berujar,” Ia harus shalat (lengkap) seperti shalat mereka.” (Shahih Isnad :
Irwa-ul Ghalil no : 22 dan Baihaqi III : 157).
23. Orang Yang Mampu Berdiri Bermakmum Kepada Orang Yang
Shalat Dengan Duduk Dan Ia Pun Duduk Bersamanya
Dari Aisyah r.a., berkata, “Rasulullah saw. shalat
dirumahnya karena sakit yaitu beliau shalat duduk, sementara sejumlah sahabat
shalat di belakangnya dengan berdiri. kemudian beliau memberi isyarat kepada
mereka untuk duduk (juga). Tatkala selesai shalat, Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya dijadikannya imam itu hanya untuk diikuti. Karena itu, apabila
imam ruku’ maka ruku’lah, apabila dia mengangkat (kepalanya) maka angkatlah
(kepalamu), dan apabila dia shalat dengan duduk maka shalatlah kamu dengan
duduk (juga)!” (Muttafaqun ‘Alaih Fathul Bari II: 173 no: 688, Muslim I: 309
no: 412 dan ‘Aunul Ma’bud I 315 no: 591).Yaitu di rumah Aisyah, bukan di rumah
istri yang lain. Lihat Fathul Bari II:175 (pent.)
Dari Anas r.a., ia bercerita: (Pada suatu saat) Nabi
terjatuh dari atas kudanya hingga lambung kanannya bengkak. Maka kami
membesuknya, lalu tiba waktu shalat, kemudian Rasulullah shalat dengan kami
dalam keadaan duduk, lantas kami shalat di belakangnya dengan duduk (pula).
Tatkala usai shalat, beliau bersabda, “Sesungguhnya dijadikannya imam hanyalah
untuk diikuti. Karena itu, manakala ia telah takbir, maka bertakbirlah kamu,
apabila ia telah sujud maka sujudlah kamu dan apabila ia telah mengangkat
(kepalanya) maka angkatlah (kepalamu juga), apabila ia mengucapkan, SAMI’ALLAHU
LIMAN HAMIDAH, maka ucapkanlah, RABBANAA WALAKAL HAMDU, dan apabila ia shalat
dengan duduk maka shalatlah kamu semua dengan duduk (juga).” (Muttafaqun
‘alaih: Muslim 1:308 no:4 11, Fathul Bari 11:173 no:689, ‘Aunul Ma’bud II: 310
no: 587, Tirmidzi I: 125 no:358, Nasa’i III: 98, dan Ibnu Majah 1:392 no:
1238).
24. Makmum Sendirian Harus Berdiri Persis Di Sejajarkan Imam
(Sejajar Dengannya).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Saya pernah bermalam di rumah
bibiku, Maimunah lalu Rasulullah saw. shalat isya’, kemudian shalat empat
rakaat, lalu kemudian bangun (shalat lagi), lalu ia datang berdiri di sebelah
kirinya, maka beliau menempatkanku di sebelah kanannya.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil 540, Shahih Ibnu Majah no: 792, Tarmidzi I: 147 no: 232, Nasa’i II: 104
Ibnu Majah I: 312 no: 973).
25. Makmum Dua Orang Atau Lebih Berdiri Dengan Membuat Shaf
Di Belakang Imam.
Dari Jabir berkata, “Rasulullah saw. berdiri hendak shalat,
lalu aku datang dan berdiri di sebelah kirinya, lalu Rasulullah memegang
tanganku kemudian memutarku hingga menempatkan di sebelah kanannya. Tak lama
kemudian datanglah Jabbar bin Shakhr, lantas berdiri disebelah kiri Rasulullah,
lalu beliau memegang tangan kami semua, lantas mendorong kami hingga kami
berdiri di (shaf) belakangnya.” (Shahih : Ihwa-ul Ghalil no : 540, Muslim I:
458 no: 269-660, ‘Aunul Ma’bud II: 318 no: 595, dan Ibnu Majah I: 312 no: 975).
26. Jika Makmum Seorang Perempuan Harus Berdiri Di Belakang
Imam
Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. shalat
dengannya dan dengan ibunya atau bibinya ia berkata, “Beliau menempatkanku di
sebelah kanannya dan menempatkan perempuan di belakang kami.” (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari II: 192 no: 700, Muslim I: 339 no: 465, ‘Aunul Ma’bud III:
4 no: 776, dan Nasa’i II: 102)
27. Kewajiban Meluruskan Shaf
Wajib bagi sang imam untuk tidak memulai shalatnya sebelun
mengontrol shaf, yaitu ia sendiri menyuruh jama’ah meluruskan shaf, atau
menunjuk seseorang yang meluruskan shaf:
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Luruskanlah
shaf kalian karena sesungguhnya kelurusan
shaf itu termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim I : 324 no:
433 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari II: 209 no: 723, ‘Aunul Ma’bud (II: 367
no: 654, dan Ibnu Majah 1:317 no: 993)
Dari Abu Mas’ud r.a. berkata, adalah Rasulullah saw.
meluruskan bahu-bahu kami ketika akan memulai shalat sambil bersabda,
“Luruskanlah, jangan sampai tidak lurus, (kalau tidak lurus) niscaya hati-hati
kalian akan berselisih pula.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 961, Muslim
I: 323 no: 432).
Dari an-Nu’man bin Basyir r.a., berkata, adalah Rasulullah
saw. meluruskan shaf-shaf kami seolah-olah beliau meluruskan tangkai anak panah
ini sampai kami melihat kami diikat padanya. Kemudian pada suatu hari, beliau
berdiri hampir memulai takbir, lalu melihat dada seorang sahabat yang menonjol
dari shaf, maka beliau bersabda, “Wahai hamba-hamba Allah, kalian benar-benar
meluruskan shaf kalian, atau (kalau tidak), Allah benar-benar menjadikan
wajah-wajah berbeda-beda.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3972, I: 324
no: 128 dan 436, ‘Aunul Ma’bud II: 363 no: 649, Tirmidzi no: 227, Nasa’i II: 89
dan Ibnu Majah I: 318 no: 994)
Penggunaan kata qidah (tangkai anak panah), adalah
menunjukkan akan lurus dan rapatnya shaf itu. Syarah Muslim.
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Tegakkanlah shaf-shaf, luruskan antara bahu-bahu, penuhilah yang kosong dan
bersikap lemah lembutlah kepada saudaramu, janganlah kamu biarkan celah-celah
untuk syaithan, barang siapa yang menyambung shaf niscaya Allah menjalin hubungan
dengannya barangsiapa memutus shaf, tentu Allah memutus hubungan dengannya.”
Shahih: Shahih Abu Daud no: 620 dan ‘Aunul Ma’bud II: 365 no : 652).
Dari Anas r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Rapatkanlah
dan dekatkan shaf-shaf kalian serta luruskanlah antara sesama leher, Demi Dzat
yang diriku berada di genggaman-Nya, sesungguhnya aku benar-benar melihat
syaithan masuk ke shaf melalui celah-celah shaf seperti anak kambing hitam.”
(Shahih: Shabi Abu Daud no: 621, ‘Aunul Ma’bud II: 366 no: 653, Nasa’i II: 92).
28. Cara Meluruskan Shaf
Dari Anas r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Luruskan shaf-shaf
kalian, karena sesungguhnya saya melihat kamu dan belakang punggungmu.” Dan
(kata Anas), “Adalah seorang diantara kami menempelkan bahunya dengan bahu
saudaranya, dan kakinya dengan kaki saudaranya.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari no:
393 dan Fathul Bari II: 211 no:725).
An-Nu’man bin Basyir menegaskan, “Aku melihat seorang
laki-laki diantara kita menempelkan mata kaki dengan mata kaki rekannya.”
(Shahih: Mukhtasar Bukhari no: 124 hal. 184 dan Fathul Bari II: 211 secara
mu’allaq).
29. Shaf Laki-Laki Dan Perempuan
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek
adalah shaf yang terakhir dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling
akhir dan yang paling jelek adalah yang terdepan.” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 3310, Muslim I: 326 no: 440, ‘Aunul Ma’bud II: 374 no: 663,
Tirmidzi I: 143 no: 224, Nasa’i II: 93 dan Ibnu Majah I: 319 no: 1000).
30. Keutamaan Shaf Pertama Dan Shaf Sebelah Kanan
Dari Bara’ bin Azib ra ia berkata: Adalah Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya bershalawat kepada
jama’ah yang berada pada shaf pertama.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 618,
‘Aunul Ma’bud 11364 no: 650, Nasa’i II: 90 dan dalam Sunan Nasa’i memakai kata,
“ASH SIUFUFUL MUTAQADDIMAH (= shaf-shaf terdepan).”)
Darinya (yakni Bara’ bin Azib) r.a., ia berkata, “Apabila
kami shalat bermakmum kepada Rasulullah saw., kami ingin berada di sebelah
kanannya. Rasulullah menghadap kepada kami dengan raut wajahnya, lalu saya
dengar darinya bersabda, “Ya Rabbku peliharalah aku dan adzab-Mu pada hari
engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” (Shahih: at-Targhib: 500, Muslim I: 492
dan 493no: 709)
31. Makmum Yang Lebih Pantas Berdiri Di Belakang Imam
Dari Abu Mas’ud al-Anshari r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah yang berada yang berada
di belakangku di antara kamu ialah orang-orang yang sudah dewasa dan matang
pikirannya, kemudian yang sesudah mereka, lalu sesudah mereka.” (Shahih:Shahih
Abu Daud no: 626, Muslim I: 323 no: 432, “Aunul Ma’bud II: 371 no: 660, Ibnu
Majah I: 312 no: 976 dan Nasa’I II: 90)
32. Makruh Shaf Yang Dihalangi Tiang
Dari Muawiyah bin Qurrah dari bapaknya, ia berkata, “Pada
masa Rasulullah kami dilarang (oleh beliau) membentuk shaf yang dihalangi tiang
dan kami jauhkan darinya sejauh-jauhnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:821,
Ibnu Majah I:320 no:1002, Mustadrak Hakim I:218, dan Baihaqi III:104)
Larangan di atas berlaku pada shalat jama’ah, adapun shalat
munfarid sendirian, maka tidak mengapa seseorang shalat di antara beberapa
tiang sebagai sutrah baginya.
Dari Ibnu Umar r.a., berkata, Nabi saw., Usamah bin Zaid,
‘Utsman bin Thalhah, dan Bilal masuk ke suatu rumah. Kemudian Nabi saw. lama di
dalamnya, lalu keluar. Saya adalah orang yang pertama masuk mengikuti jejaknya.
Kemudian saya bertanya pada Bilal, “Di mana beliau shalat?” Jawabnya, “Beliau
(shalat) di antara dua tiang terdepan.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari hal 139,
Fathul Bari I:578 no:504).
33. Sejumlah ‘Udzur Yang Membolehkan Meninggalkan Shalat
Jama’ah
1. Terlalu dingin dan hujan
Dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar r.a pernah mengumandangkan adzan
untuk shalat jama’ah pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian
berseru, “Ketahuilah, shalatlah kamu sekalian di rumah masing-masing lalu
beliau berkata bahwasanya Rasulullah pernah menyuruh muadzin apabila beradzan
pada malam yang dingin dan hujan untuk mengungkapkan, “Ketahuilah, shalatlah
kamu sekalian di rumah masing masing !” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 156
no: 666, Muslim I: 4 no: 697, ‘Aunul Ma’bud III: 391 no: 1050 dan Nasa’i II:
15).
2. Tersiapnya hidangan makan
Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila
hidangan makan malam seseorang diantara kamu sudah disiapkan dan iqamah sudah
dikumandangkan, maka mulailah dengan makan malam, dan janganlah tergesa-gesa
untuk (shalat isya’) sebelum selesai dan makannya.” Dan adalah Ibnu Umar
apabila disiapkan hidangan makan untuknya dan iqamah sedang dikumandangkan,
maka ia tidak mau menghadirinya sebelum selesai makan, dan ia benar-benar
mendengar bacaan imam. (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 159 no: 673, Muslim
I: 392 no: 459, tanpa kalimat terakhir dan ‘Aunul Ma’bud X: 229 no: 3739)
3. Selalu terdorong oleh rasa ingin berak dan kencing.
Dari Aisyah r.a, ia bertutur, “Aku pernah mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Sama sekali
tiada shalat bila hidangan makan sudah tersedia dan tiada (pula) bagi orang
yang terdorong oleh berak dan kencing.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:
7509, Muslim I: 393 no: 560 dan ‘Aunul Ma’bud I: 160 no : 89).
PASAL
Solat Jama’ Dan Qasar
Solat Jamak
Yang dimaksud dengan solat Jama adalah penggabungan dua
waktu solat dan dikerjakan dalam satu waktu, misalnya solat Zhuhur dengan Ashar
dan Maghrib dengan Isya.
Bila solat Zuhur dikerjakan bersama-sama dengan Ashar di
waktu Ashar, maka dinamakan Jama Ta’khir. Sebaliknya bila solat Ashar
dikerjakan bersama-sama dengan Zuhur di waktu Zuhur disebut Jama Taqdin.
Demikian juga bila solat Maghrib dan Isya dikerjakan bersama-sama pada waktu
Maghrib, ia disebut Jama Taqdim, sebaliknya solat Maghrib dengan Isya
dikerjakan bersama-sama pada waktu Isya, ia dinamakan Jama Ta’khir.
Zuhur, Ashar, Isya dan Maghrib, rakaatnya tetap, 4,4,4, dan
3. Dalam solat Jama’ baik yang taqdim maupun takhir, maka solat yang
didahulukan mengerjakannya adalah solat yang lebih dulu waktunya. Jadi, bila
selesai dengan shalat Zuhur, harus dilanjutkan dengan solat Ashar; begitu pula
dengan solat Maghrib dan Isya.
Solat Jama boleh dikerjakan oleh orang-orang yang:
* Kerana dalam perjalanan atau musafir, iaitu sejak ia
berangkat hingga kembali ke kampung
* Kerana sedang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang
betul-betul sulit ditinggalkan.
* Ataupun sebab-sebab lain yang seseorang tidak mampu
menunaikan solat tersebut tepat pada waktunya.
Harus ada niat dalam hati bahawa ia mengerjakan solat Jama’.
Shalat Qasar
Yang dimaksud dengan solat Qashar ialah mengerjakan solat
yang empat rakaat menjadi 2 rakaat sahaja, yakni solat Zhuhur, Ashar, dan Isya.
Dalam Al Quran disebutkan:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu mengqashar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (An Nisa
101).
Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud dari Yahya
bin Mazid r.a. katanya:
“Saya telah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat.
Jawabnya: Rasulullah s.a.w. “Apabila ia berjalan jauh 3 mil atau 33 farskah
(25,92 km), maka beliau solat dua rakaat”
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Umar r.a. bertanya
kepada Rasulullah s.a.w. :”Apakah halnya kita, sedangkan kita telah aman”.
Rasulullah s.a.w. menjawab: “Itu adalah sadakah yang
diberikan Allah s.w.t. kepada kamu, maka terimalah sedekahnya itu” (HR Ja’la
bin Umayyah)
Solat Qashar boleh dikerjakan oleh seseorang yang tengah
berpergian (musafir) baik dalam keadaan aman, maupun dalam keadaan ketakutan;
baik perjalanan wajib atau biasa, asalkan perjalanan yang bukan maksiat. Dalam
perjalanan Haji, menuntut ilmu, berdagang, mengunjungi sahabat dan lain-lain,
halal untuk
mengqasharkan solat.
Adapun solat qashar saja, maupun qasahar dan jama’ yang
dilakukan seseorang selama masa perjalanan, maka setelah ia tiba dirumah
kembali, solatnya tidak perlu diulangi.
Seorang musafir, boleh mengerjakan jama’ dan qashar
sekaligus. Bila ingin mengerjakan jama, dan qashar, jika ingin azan, maka
azannya cukup satu kali saja dan iqamahnya dua kali. Caranya, mula-mula azan,
lalu iqamah dan solat. Bila telah selesai ia iqamah sekali lagi untuk solat
berikutnya. Solat qashar adalah
bagian dari ketetapan agama Islam.
Boleh jama’ di dalam negeri
“Telah berkata Ibnu Abbas: Rasulullah s.a.w. pernah
sembahyang jama’ antara Zuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya, bukan
diwaktu ketakutan dan bukan di dalam pelayaran (safa). Lantas ada orang
bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa Rasulullah s.a.w. berbuat begitu? Ia
menjawab: “Rasulullah s.a.w. berbuat begitu kerana tidak mahu memberatkan
seorangpun daripada umatnya”. (HR Imam Muslim)
Boleh Seketika, Tetapi Bukan Leluasa
Bila anda berpergian sebelum tergelincir matahari (yaitu
sebelum Zuhur dan ternyata Zuhur tidak dapat dikerjakan pada waktunya kerana
ada kerumitan atau halangan yang susah dielakkan), maka Zuhur dapat dikerjakan
pada waktu Ashar, bersama-sama dengan solat Ashar. Bila anda keluar sesudah
tergelincir matahari, yakni sudah dalam Zuhur, sedangkan anda sendiri
memperkirakan tidak mungkin ada kesempatan untuk mengerjakan solat Ashar tepat
pada waktunya, maka Ashar dapat anda kerjakan bersama-sama solat Zuhur di waktu
Zuhur itu juga, demikian halnya dengan solat Maghrib dan Isya.
Yang Penting Niat
Bagi seorang yang betul-betul sibuk dengan tugas yang tidak
dapat ditinggalkan (atau bila ditinggalkan dapat merosak), maka baginya ada
keizinan/keringanan untuk mengerjakan solat jama’ (Zuhur dengan Ashar di waktu
Zuhur atau Zuhur dengan Ashar di waktu Ashar. Begitu juga Maghrib dengan Isya,
sekali pun ia berada di dalam kota atau negeri. Tetapi, cara yang demikian
bukanlah untuk dijadikan kebiasaan, namun dibenarkan bagi yang memang
memerlukan, baik dalam solat atau diluar solat.
Pada waktu sujud dianjurkan membaca:
Sajada wajhiya lilladzii khalaqahu wasyaqqa sam’ahu
wabasharahu bihawlihi waquwwatihi. (Aku bersujud kepada Allah yang
menciptakannya, memberikan pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan dan
kekuatan-Nya)
Catatan:
Bila diluar solat, pembacaan ayat yang ditentukan melakukan
sujud tilawah, maka pendengar (menyaksikan) dianjurkan ikut bersujud; bila
mereka tidak ikut bersujud, maka tidak akan berdosa.
Bila dalam solat jamaah, Imam bersujud tilawah, maka makmum
wajib ikut bersujud, bila makmum tidak bersujud, maka gugurlah kedudukannya
sebagai anggota solat berjamaah.
PASAL
Salat Jum’at
Syarat wajib sholat Jum’at
Orang-orang yang wajib mengerjakan shalat Jum’at adalah
orang-orang yang telah memenuhi 7 syarat berikut:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Sehat badan
g. Menetap (bukan musafir, tidak dalam perjalanan jauh).
Sedangkan orang-orang yang tidak wajib mengerjakan shalat
Jum’at adalah :
a. Orang kafir
b. Anak kecil (yang belum baligh)
c. Orang gila
d. Budak
e. Orang perempuan
f. Musafir A. Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat
Sholat Jum’at adalah ibadah salat yang dikerjakan di hari
jum’at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.
B. Hukum Sholat Jum’at
Shalah Jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi laki-laki /
pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat
tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak,
solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Dalil Al-qur’an Surah Al Jum’ah ayat 9 :
” Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.”
C. Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat
1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan
untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat jum’at di tempat
sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum’at adalah 40
orang.
3. Shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur /
zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
D. Ketentuan Shalat Jumat
Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.
E. Hikmah Solat Jum’at
1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul
bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama
manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan
lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT
akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.
F. Sunat-Sunat Shalat Jumat
1. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias
dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
Syarat Khutbah 1. Khutbah dilakukan sebelum salat Jum’at 2.
Niat 3. Disampaikan dengan bahasa yang bisa dipaham oleh Jamaah. 4. Antara
khutbah satu dan khutbah dua dilakukan dalam satu waktu. (antara keduanya tidak
boleh dipisahkan dengan salat Jum’at ). 5. Disampaikan dengan suara yang bisa
didengar oleh jamaah, minimal sejumlah orang yang wajib dipenuhi sebagai syarat
sahnya salat Jum’at, 40 orang. 6. Salat Jum’at segera dilakukan begitu khutbah
usai, tidak boleh diselingi dengan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya
dengan pelaksanaan salat Jum’at. B. Rukun Khutbah 1. Memuji kepada Allah
(Dengan membaca: “al-hamdulillah, atau, ahmadullah, atau hamdan lillah, dan
sesamanya”) dalam setiap khutbah pertama dan kedua. 2. Membaca salawat untuk
Nabi Muhammad saw dalam setiap khutbah, satu dan dua (salawatnya: “Allahumma sholli
‘ala Muhammad, dan atau semacamnya”) 3. Berwasiat untuk melakukan ketakwaan
dalam setiap khutbah (pesannya: “ittaqullah, atau athi’ullah, atau ushikum
bitaqwallah, dan atau semisalnya”) 4. Membaca satu atau sebagian ayat
al-Qur`an. 5. Doa untuk kebaikan dan ampunan bagi orang-orang beriman pada
khutbah kedua. Rukun di atas adalah rukun khutbah dalam Mazhab Syafi’i. Menurut
mazhab ini, semua rukun tersebut harus disampaikan dalam bahasa Arab, adapun
pesan-pesan lain yang tidak termasuk rukun bisa disampaikan dengan bahasa yang
dipahami oleh jamaah. Adapun Mazhab-mazhab lainnya adalah sebagai berikut: 1.
Mazhab Hanafi, rukun khutbah adalah satu hal, yaitu dzikir secara mutlak, baik
panjang maupun pendek. Menurut Mazhab ini bahkan bacaan tahmid, atau tasbih,
atau tahlil, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban khutbah. Mazhab ini
berpendapat bahwa khutbah bisa disampaikan dalam bahasa apa saja, tidak harus
bahasa Arab. 2. Mazhab Maliki, rukun khutbah menurut mazhab ini adalah satu
hal, yaitu ungkapan yang memuat kabar gembira (dengan janji-janji pahala dari
Tuhan) atau peringatan (bagi orang-orang yang suka melanggar aturan Tuhan).
Mazhab ini berpendapat bahwa keseluruhan khutbah harus disampaikan dalam bahasa
Arab. Jika tidak ada yang mampu menggunakan bahasa Arab maka kewajiban salat
Jum’at gugur untuk dilaksanakan. 3. Mazhab Hanbali, rukun khutbah menurut
mazhab ini ada empat hal, yaitu: a. Bacaan “alhamdulillah” dalam setiap
khutbah, satu dan dua. b. Salawat atas Nabi Muhammad. c. Membaca satu atau sebagian
ayat al-Qur’an. d. Wasiat untuk melakukan ketakwaan. Mazhab ini juga
berpendapat bahwa khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab bagi yang mampu.
Bagi yang tak bisa berbahasa Arab maka menggunakan bahasa yang dimampui, khusus
untuk ayat al-Qur`an tidak boleh digantikan dengan bahasa lain. Demikian,
rincian syarat dan rukun khutbah menurut mazhab-mazhab besar yang banyak
berlaku. Memang hampir tidak ada perbedaan antara khutbah dengan ceramah yang
biasa dilakukan para dai. Yang membedakan hanya waktu penyampaiannya. Wa
‘l-Lah-u a’lam. Demikian, semoga membantu. Salam, Shocheh Ha
PASAL
Salat Gerhana
Pengertian Gerhana
Gerhana dalam istilah syar’I disebut dengan khusuf atau
kusuf, yang maknanya adalah : hilangnya sebagian cahaya matahari dan bulan atau
hilangnya secara keseluruhan dikarenakan proses alam, yang menyebabkan kondisi
pada saat itu mengarah ke warna gelap atau hitam.
Gerhana itu sendiri terdiri dari dua macam gerhana yaitu
“gerhana matahari” yang dikenal dengan “kusuf” dan “gerhana bulan” yang dikenal
dengan istilah “khusuf”
Shalat dua gerhana adalah Shalat yang dikerjakan pada saat
terjadinya gerhana matahari atau bulan dengan cara dan ketentuan tertentu
sesuai dengan yang dicontohkan oleh rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam.
Dasar Hukum Perintah Shalat dua gerhana
“Telah terjadi gerhana matahari pada hari wafatnya Ibrahim
putera Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Berkatalah manusia: Telah
terjadi gerhana matahari kerana wafatnya Ibrahim. Maka bersabdalah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam “Bahwasanya matahari dan bulan adalah dua tanda
dari tanda-tanda kebesaran Allah. Allah mempertakutkan hamba-hambaNya dengan
keduanya. Matahari gerhana, bukanlah kerana matinya seseorang atau lahirnya.
Maka apabila kamu melihat yang demikian, maka hendaklah kamu shalat dan berdoa
sehingga habis gerhana.” (HR. Bukhari & Muslim).
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda)
dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena
kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu,
jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir,
shalat dan bersedekah”. Setelah itu, beliau bersabda : “Wahai umat Muhammad,
demi Allah, tidak ada seorang yang lebih cemburu dari Allah jika hambaNya,
laki-laki atau perempuan berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian
mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak
menangis” (Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani).
Waktu Shalat
Waktu shalat dua gerhana dimulai sejak terjadinya gerhana
sampai berakhirnya masa gerhana, hal ini
berdasarkan sabda beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam , “Apabila kalian
melihat (artinya: sesuatu dari peristiwa tersebut), maka shalatlah“.
(Mutafaqqun ‘Alaih).
Dan dalam hadits lainnya , “Dan jika kalian melihat yang
demikian itu maka sholatlah hingga matahari kelihatan”. (Diriwayatkan oleh
Muslim)
Tidak ada qadha pada shalat gerhana, jika masa waktu gerhana
telah hilang maka tidak disyariatkan untuk melakukan shalat gerhana.
Tata Cara Shalat Gerhana
Jumlah rakaat shalat gerhana adalah 2 rakaat dengan 2 kali
membaca alfatihah dan 2 kali rukuk dan 2 kali sujud di tiap rakaatnya.
Yang membedakan antara shalat gerhana dengan shalat lainnya
adalah pada jumlah rukuk ditiap rakaat yaitu sebanyak 2 kali.
Berikut ini tata cara shalat gerhana :
Shalat dengan jumlah 2 rakaat, bacaan shalat di keraskan.
Membaca surat al-fatihah dilanjutkan dengan membaca surat
pilihan lain, di sunnahkan membaca surat-surat yang panjang.
Selanjutnya rukuk, dengan rukuk yang panjang.
Setelah itu mengangkat kepala dari ruku dan membaca “Sami’
Allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu”
Lalu dia kembali membaca Al-Fatihah dan surat panjang yang
lebih pendek dari surat pertama.
Kemudian ruku’ dengan waktu ruku’ lebih pendek dari waktu
ruku’ pertama.
Setelah itu mengangkat kepala dari ruku’ dan membaca, “Sami’
Allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu”
Lalu sujud pertama
Selanjutnya bangkit dari sujud dan melakukan duduk di antara
dua sujudnya
Sujud kembali untuk melakukan sujud yang kedua.
setelah itu kembali berdiri dan memulai rakaat yang kedua
Kemudian lakukan shalat rakaat kedua seperti rakaat pertama
dengan dua ruku dan dua sujud yang panjang.
Lalu setelah sujud yang kedua dilanjutkan dengan
bertasyahud, dan terakhir
Salam
Sunnah-sunnah Shalat dua gerhana
Memperbanyak dzikir, istighfar, bertakbir, sodaqoh dan
melakukan amal shalih lainnya.
Keluar menuju masjid untuk melakukan shalat gerhana secara
berjamaah
Shalat gerhana tidak
di mulai dengan adzan dan iqamah, melainkan dengan seruan “ashsholatu jami’ah” (shalat
akan didirikan)
Khutbah setelah shalat gerhana
PASAL
. Shalat
Istisqa
Defenisi
Istisqa’ artinya minta diturunkan hujan oleh Allah swt untuk
sejumlah negeri atau hamba-hambaNya yang membutuhkannya melalui shalat, berdoa
dan beristighfar ketika terjadi kemarau.
Hukumnya
Shalat Istisqa’ termasuk shalat sunnah yang sangat
dianjurkan sekali (sunnah muakkadah), di mana Rasulullah saw pun telah
melaksanakannya dan beliau juga memberitahukannya kepada orang-orang agar ikut
serta untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat istisqa’.
Oleh karena itu apabila hujan sangat lama tidak turun dan
tanah menjadi gersang, maka dianjurkan bagi kaum muslimin pergi ke tanah lapang
untuk melaksanakan shalat istisqa’ dua rekaat di pimpin seorang iman,
memperbanyak do’a dan istighfar dan memutar selendangnya yang sebelah kanan
diletakkan ke sebelah kiri. Sebagaiamana
sabda Nabi saw dari Abdullah bin Zaid ia berkata
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ
جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
“Saya melihat Nabi saw tatkala pergi ke tanah lapang untuk
shalat istisqa’ beliau palingkan punggungnya menghadap para sahabat dan kiblat
sambil berdo’a, lalu beliau palingkan selendangnya, kemudian shalat dengan kami
du’a rekaat dengan suara yang keras ketika membaca ayat.”
Tata cara shalat istisqa’
Pergi ke tanah lapang kemudian shalat berjama’ah bersama
orang-orang yang dipimpin seorang imam tanpa adzan dan iqomah akan tetapi
hendaknya mengucapakan الصلاة جامعة. Kemudian shalat dua rekaat, jika imam
berkenan maka ia dapat membacca takbir sebanyak tujuh kali pda rekaat pertama
dan lima kali pada rekaat keduaseperti
pada shalat hari raya. Pada rekaat perama imam membaca surat al-’Ala
setelah ia membaca surat Al-Fatihah dengan suara yag nyaring, sedang pada
rekaat yang kedua membaca surat al-Ghasiyah. Setelah selesai shalat hendaknya
imam menghadap ke arah jama’ah kemudian ia berkhutbah di hadapan mereka dengan
menghimbau mereka supaya banyak bersitighfar, lalu imam berdoa yang diamini
oleh jama’ah, lalu imam menghadap kiblat serta mengubah posisi selendangnya,
sehingga bagian sebelah kanan berpindah ke bagian sebelah kiri, serta bagian
sebelah kiri berpindah ke bagian sebelah kanan dan kemudian mengangkat
tangannya, lalu orang-orangpun harus mengubah posisi selendang mereka
sebagaimana yang dilakukan seorang imam. Selanjutya mereka berdoa sesaat
kemudian bubar Dan disunnahkan ketika
berdo’a istisqa’ mengangkat tangannya
dengan posisi punggung tangan di atas.
Beberapa bentuk istisqa’
Seorang imam shalat dua rekaat bersama makmum, waktunya
kapan saja, kecuali waktu yang dilarang untuk shalat. Dengan mengeraskan
bacaan, rekaat pertama membaca surat Al-’Ala dan yang kedua dengan surat
Al-Ghasiyah Selesai shalat Imam berkhutbah di hadapan manusia kemudian berdo’a
kepda Allah agar diturunkan hujan. Dan ini adalah cara yang paling sempurna dan
lengkap.
Ketika khutbah jum’at kemudian di akhir khutbah khatib
berdo’a supaya diturunkan hujan, kemudian makmum mengamini do’anya.
Sebagaiamana sabda Nabi saw, Dari Anas ra bahwasanya seorang laki-laki masuk
masjid pada hari jum’at, sedangkan Rasulullah saw sedang berdiri berkhutbah,
lalu laki-laki tadi berkata, “Wahai Rasulullah saw hartaku telah binasa,
bekalku telah habis, maka berdo’alah kepada Allah agar menolong (menurunkan
hujan) kepada kita, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan
berdo’a,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ
أَغِثْنَا
Hanya dengan berdo’a saja, bukan pada hari jum’at dan tidak
pula melaksanakan shalat di masjid atau di tanah lapang.
Waktu pelaksanaan istisqa’
Waktu pelaksanaan istisqa’ sama seperti shalat hari raya ini
adalah pendapat Malikiyah, berdasarkan keterangan dari Aisyah, “Rasulullah saw
pergi menunaikan shalat istisqa’ ketika tampak penghalang matahari.” Namun
dalam hadits ini bukan membatasi bahwa waktu shalat istisqa’ itu hanya seperti
keterangan dalam hadits, akan tetapi waktu pelaksanaan shalat istisqa’ dapat
dikerjakan kapan saja, selain waktu yang dilarang untuk shalat. Karena shalat
istisqa’ memiliki waktu yang panjang, namun yang lebih afdhal adalah
dilaksanakan pada awal hari sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, karena
shalat istisqa’ menyerupai (hampir sama) dengan
shalat ‘ied tata cara dan tempatnya.
Hal-hal yang disunnahkan sebelum shalat istisqa’
Disunnahkan kepada imam untuk mengumumkan pelaksanaan shalat
istisqa’ beberapa hari sebelumnya, menghimbau orang-orang supaya bertaubat dari
kemaksiatan dan menjauhkan diri dari kedzaliman. Juga menganjurkan mereka
supaya berpuasa, bersedekah, meninggalkan permusuhan dan memperbanyak amal kebaikan, karena
kemaksiatan itu penyebab kemarau dan tidak diturunkannya hujan, sebagaimana
ketaatan menjadi penyebab kebaikan dan keberkahan sehingga Allah swt akan
menurunkan hujan dari langit
Khutbah Istisqa’
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai waktu khutbah pada
shalat istisqa’, Sebagian ulama’ berpendapat dan ini adalah merupakan riwayat
dari Imam Ahmad, bahwasanya Imam berkhutbah sebelum shalat istisqa’.
Namun mayoritas ulama’ di antaranya adalah Malik, Syafi’I
dan Muhammad bin Hasan dan ini juga riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal dari
jalur yang lain, bahwasanya khutbah istisqa’ dilaksanakan setelah shalat
istisqa’ dan ini merupakan pendapat yang
benar, sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Qudamah dalm Al-Mughni berdasarkan perkataan dari Abu Hurairah di dalam
hadits yang shahih,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ
بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ
وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ
الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah r keluar pada
waktu istisqa’ maka kemudian ia shalat bersama kami dua raka’at tanpa adzan dan
iqamah kemudian berkhutbah pada kami dan berdo’a kepada Allah U dan
menghadapkan wajahnya ke arah kiblat dengan mengangkat tangannya kemudian
membalik selendangnya dan menjadikan selendang sebelah kanan pada pundak yang
kiri dan selendang sebelah kiri diletakkan di pundak yang kanan.” (HR. Ibnu
Majah)
“Rasulullah saw shalat dua rakaat kemudian berkhutbah kepada
kami.”
Do’a-do’a istisqa’
Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa do’a di dalam
istisqa’ yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw :
Sebagaimana hadits yang telah lalu ketika seoang laki-laki
datang ke masjid dan Rasulullah saw sedang berkhutbah, kemudian ia minta supaya
Rasulullah saw berdo’a, اللهم أغثنا اللهم أغثنا اللهم أغثنا sebanyak tiga kali.
Sebagaimana sabda Nabi saw dari Ibnu Abbas
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا طَبَقًا
مَرِيعًا غَدَقًا عَاجِلًا غَيْرَ رَائِثٍ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong, menyegarkan
tubuh dan menyuburkan tanaman dan segera tanpa ditunda-tunda.”
Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwasanya Nabi saw ketika
dalam istisqa’ beliau membaca, اللهم اسقنا اللهم اسقنا اللهم اسقنا ” Ya Allah
turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah
turunkanlah hujan kepada kami”.
Salah satu do’a dalam istisqa’ adalah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى
الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالْآجَامِ وَالظِّرَابِ وَالْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ
الشَّجَرِ
“Ya Allah turunkanlah hujan disekitar kami, bukan pada kami.
Ya Allah berilah hujan ke dataran tinggi, pegunungan, anak bukit, dan lembah
serta di tempat tumbuhnya pepohonan.”
Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan di antara do’a yang dibaca
Nabi saw ketika istisqa’
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا مَرِيعًا
نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ قَالَ فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ
السَّمَاءُ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong. Menyegarkan
tubuh, dan menyuburkan tanaman, bermanfaat dan tidak membahayakan dengan segera
tanpa ditunda-tunda.”
PASAL
Berpakaian
Di haramkan
bagi seorang laki-laki memakai pakaian
yang terbuat dari sutra dan memakai cincin yang terbuat dari emas didalam tingkah permilih seperti digunakan
untuk tempat tidur dan lain sebagainya ,kecuali dalam keadaan dzorurot seperti
panas atau dingin yang membahayakan .dihalalkan bagi perempuan dan anak yang di
bawah umur 7 tahun memakai sutra dan
cicin emas .
Hukumnya Haram :
A.Tidak boleh shalat dengan aurat terbuka,
Masalah terbukanya aurat ini terjadi pada beberapa
klasifikasi manusia:-Pertama; Seseorang mengenakan celana ketat yang membentuk
lekuk tubuh (aurat) kemudian memakai baju yang pendek, sehingga ketika rukuk
atau sujud pakaiannya tersingkap, maka kelihatan bagian bawah punggungnya dan
bentuk auratnya karena ketatnya celana yang dipakai dan pendeknya baju.
Maka dengan pakaian seperti ini berarti dia membuka
auratnya, padahal dia sedang rukuk dan sujud di hadapan Allah swt, semoga Allah
menjaga kita semua dari hal itu. Terbukanya aurat dalam keadaan shalat dapat
menyebabkan batalnya shalat, dan inilah salah satu efek negatif mengimpor
pakaian dari negri kafir.
Perhatian juga kepada para wanita, jangan sampai shalat
dalam keadaan sebagian rambutnya terlihat, atau tidak tertutup keseluruhannya.
Jangan pula tersingkap lengan atau betisnya. Karena menurut jumhur (mayoritas)
ulama kalau sampai demikian, maka hendaknya ia mengulang shalatnya tersebut.
Salah satu pakaian yang dikhawatirkan menjadi sebab
terbukanya aurat wanita adalah jilbab kecil yang sangat memungkinkan apabila
shalat dengan tanpa tutup lain yang lebih lebar akan tersingkap bagian
rambutnya.
B, Shalat dengan pakaian tipis
Pakaian yang menampakkan anggota badan, sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian orang di masa ini. Dengan sengaja memakainya maka
berarti sengaja memperlihatkan bagian auratnya yang seharusnya tertutup.
Mereka telah tergiring oleh syahwat sehingga menjadi
pengikut mode dan adat, mereka juga telah terbius oleh para penyeru
permisivisme yang membolehkan manusia berkreasi dan melakukan apa saja tanpa
mengindah kan norma dan aturan syari’at. Suatu ketika Rasululah n ditanya oleh
seseorang tentang shalat dengan memakai satu pakaian (misal: celana panjang
saja tanpa memakai baju atau memakai gamis tanpa mengenakan celana-red), maka
beliau menjawab, “Bukankah masing masing kalian mendapati dua pakaian?
Maka dengan demikian orang yang shalat dengan baju tidur
termasuk dalam kategori ini, karena tentu dia akan merasa malu apabila
bepergian atau ke pasar dengan memakai piyama tersebut.
Dan bagi wanita, shalat dengan pakaian yang tipis urusannya
lebih berat dari pada laki-laki.
Maka jangan sampai para wanita shalat dengan pakaian yang
terbuat dari kain yang tipis atau transparan, karena meskipun menutup seluruh
tubuh namun tetap memperlihatkan kulit dan badannya.
C. Shalat dalam keadaan isbal ( khusus pria )
Banyak sekali dalil yang menjelaskan haramanya isbal, baik
ketika shalat maupun di luar shalat. Namun masih banyak kaum muslimin yang
kurang perhatian dengan masalah ini, padahal ada sebuah riwayat marfu’ dari Abu
Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah tidak menerima shalat seseorang yang
musbil (menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki).
Hadits ini dinyatakan hasan oleh An-Nawawi di dalam kitab
Riyadhus Shalihin dan oleh Ahmad Syakir dalam ta’liqnya terhadap kitab Al
Mahalli. Namun berdasar penelitian, hadits tersebut adalah dha’if karena rawi
dari tabi’in adalah majhul (tidak dikenal). Andaikan hadits tersebut shahih,
maka amat banyak kaum muslimin yang berada dalam bahaya
besar karena melakukan shalat dalam keadaan isbal. Namun tetap saja shalat
dengan kondisi isbal adalah sebuah kesalahan, sehingga meskipun shalatnya sah,
pelakunya mendapatkan dosa.
D. Shalat Berpakaian Sutra dan memakai cicin emas
Khusus untuk seorang Peia dilarang shalat memakai pakaian
yang terbuat dari sutra ataupun pakaian yang dibordil memakai benang sutra, hal
ini dapat dibaca dari hadisdz seperti dibawah ni
1. Sesungguhnya pria yang pakaian sutera tidak akan
memperoleh bagiannya di akhirat. (HR. Bukhari)
2. Rasulullah Saw melarang kami minum dan makan dengan
perkakas makan dan minum dari emas dan perak. Beliau juga melarang kami
berpakaian sutera dan yang dibordir dengan benang sutera dengan sabdanya, “Itu
untuk kaum musyrikin di dunia dan untuk kamu di akhirat. (Mutafaq’alaih)
3. Rasulullah Saw melarang kami mengenakan pakaian dari
sutera, memakai cincin emas dan minum dengan tempat yang biasa dipakai untuk
minum arak (seperti kendi). (HR. An-Nasaa’i)
4. Uqbah bin Amir berkata, “Dihadiahkan pakaian kurung sutra
kepada Nabi Muhammad saw., lalu beliau mengenakannya dan shalat dengan memakainya.
Beliau lalu berpaling dan melepaskannya dengan keras seperti orang yang benci
kepadanya, lalu beliau bersabda, ‘Ini (sutra) tidak layak bagi orang-orang yang
bertakwa.’”
5. Khusus untuk kaum wanita (muslimah) diperkenankan untuk
menggunakan perhiasan dari emas dan perak, serta memakai pakaian sutera dan
pakaian yang dibordir dengan sutera (yang terdapat suteranya), namun hal
tersebut diharamkan untuk kaum pria (muslimin).
HUKUMNYA MAKRUH
1. Shalat dengan pakaian ketat,
Memakai pakaian ketat dalam shalat adalah makruh
dalamtinjauan syar’i dan tidak baik dari segi kesehatan. Jika ketika memakainya
sampai tingkat meninggalkan shalat (dengan alasan susah untuk melakukan gerakan
ini dan itu), maka hukum memakainya menjadi haram.
Celana panjang (ketat, red) itu membentuk aurat, dan aurat
laki-laki adalah dari lutut sampai pusar.
Seorang yang sedang shalat harus semaksimal mungkin menjauhi
segala kemaksiatan ketika dia sedang sujud, yakni dengan terlihat bentuk kedua
pantatnya karena sempitnya celana itu, atau bahkan membentuk aurat yang ada di
antara keduanya (kemaluan). Maka bagaimana orang seperti ini berdiri di hadapan
Rabb seru sekalian alam?
Jika celana yang dipakai adalah longgar maka menurut Syaikh
al-Albani tidak apa-apa, namun yang lebih utama adalah dengan mengenakan gamis
(baju panjang) hingga menutupi lutut, atau setengah betis dan boleh dijulurkan
maksimal hingga mata kaki.
2. Menyingsingkan atau melipat lengan baju,
Termasuk kesalahan dalam pakaian shalat adalah
menyingsingkan atau melipat lengan baju ketika akan shalat.Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk
sujud di atas tuju anggota badan, tidak menahan rambut dan menyingsingkan
pakaian.”
3. Shalat dengan pundak terbuka,
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah bersabda,
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian shalat hanya dengan satu
pakaian tanpa adanya penutup sedikit pun di atas pundaknya.” (HR
Muslim).Larangan di atas menunjukkan atas makruhnya hal itu, bukan keharamannya.
Sebab jika seseorang telah menutup auratnya, maka shalatnya sah meskipun tidak
meletakkan sesuatu di atas pundaknya, namun perbuatan ini dibenci.
4. Shalat dengan pakaian yang bergambar,
Diriwayatkan dari Aisyah ra dia berkata, Suatu ketika Rasulullah
shalat dengan memakai qamishah (gamis) yang terdapat gambar, tatkala selesai
shalat beliau bersabda, “Bawalah qamishah ini kepada Abu Jahm bin Khudzaifah
dan bawakan untukku anbijaniyah, karena qamishah tadi telah mengganggu
shalatku.”Anbijaniyah adalah jenis kain yang agak tebal yang tidak bermotif dan
tidak ada gambar ataupun tulisan (kain polos).
Dari Anas Radhiallaahu anha dia berkata, Aisyah ra pernah
memasang sehelai kain untuk menutup salah satu dinding sisi rumahnya. Maka Nabi
n bersabda kepadanya, ” Singkirkan dia dariku karena selalu terlintas dalam
pandanganku ketika aku melakukan shalat.”
5. Shalat dengan pakaian kuning,
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra bahwa Rasulullah
melihat dua pakaian dicelup (diwenter) dengan warna kuning, maka beliau
bersabda, “Sesungguhnya itu termasuk pakaian orang kafir, maka engkau jangan
memakainya.”Dari Anas ra dia berkata, “Rasulullah melarang seseorang untuk
mewarnai bajunya dengan warna kuning (za’faran, semisal warna kunyit-red).
Dan dalam hadits yang bersumber dari Ali ra dia berkata,
“Rasulullah n melarang pakaian mu’ashfar (yang di celup dengan warna
kuning).”Ada pun bagi wanita maka tidak apa-apa mengenakan pakaian dengan warna
tersebut.
6. Shalat Tanpa Tutup Kepala untuk Pria
Apabila yang melakukan demikian adalah orang laki-laki maka
dibolehkan, namun tidak dibolehkan bagi kaum wanita, karena kepala bagi seorang
wanita adalah aurat. Akan tetapi yang mustahab(dianjurkan) adalah shalat dengan
menutup kepala karena lebih sempurna dan pantas.Syaikh Nashiruddin al-Albani
berkata, “Saya berpendapat bahwa shalat dengan kepala terbuka adalah makruh,
karena merupakan hal yang bisa diterima jika seorang muslim masuk masjid untuk
shalat dengan penampilan islami yang semaksimal mungkin, berdasarkan hadits,
“Sesungguhnya berhias (rapi) di hadapan Allah adalah lebih berhak (dilakukan).”
Perlu diketahui bahwa shalat dengan kepala terbuka adalah
makruh, maka tidak dibenarkan seseorang tidak mau shalat dibelakang orang
(imam) yang tidak memakai tutup kepala.
Demikianlah beberapa hokum berpakaian dalam shalat maupun
dalam aktipitas manusia sehari hari, yang harus dilaksanakan sesuai hukum
hukumnya, sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT.
PASAL
Kewajiban Terhadap Jenazah
Kewajiban Terhadap Jenazah
Adapun soal-soal yang bersangkutan dengan jenazah ada empat.
Jenazah tersebut hendaklah dimandikan,dikafankan,disolatkan dan dikuburkan .
Keempat- empat perkara ini ‘ Fardu Kifayah’ hukumnya bagi
umat Islam, apabila yang mati itu orang yang beragama Islam. Bila pekerjaan itu
ditinggalkan berdosalah semua orang Islam di negeri itu tetapi bila ada di
antara mereka yang mengerjakannya, maka sekalian umat Islam di negara itu
lepaslah dari dosa.
1. Memandikan Mayat
Syarat sah-nya mandi :
• Mayat itu orang Islam (muslim)
• Belum dimandikan
• Didapati tubuhnya walaupun sedikit
• Mayat itu bukan mati syahid/ syuhada (mati dalam
peperangan untuk membela agama Allah).
Rukunnya adalah menyeluruhkan air suci kepada segenap
tubuhnya. Tata caranya secara sunnah adalah memulai dengan mewudhukannya, lalu
memulai dengan bagian kanan dari tubuhnya, dan kemudian kiri tubuhnya, air
untuk memandikan dicampur dengan daun sidir (bidara), setelah selesai maka
diulang demikian hingga 3X, atau 5X atau 7X, dan pada kali yg terakhir dicampur
dengan kafur. (shahih Bukhari hadits no.1196)
Para fuqaha menambahkan, adalah mengurut dada dan perutnya
kebawah, untuk berusaha pelahan-lahan mengeluarkan kotoran yg masih tersimpan
di perutnya, lalu membersihkan tubuhnya dan Qubul dan Dubur dengan kain basah,
lalu membersihkan giginya, menyiwakinya, lalu mebersihkan hidungnya dan
telinganya, lalu baru mewudhukannya, lalu memandikannya. Sunnah menggunakan
wewangian pada mayyit bila selesai dimandikan sebelum dikafani.
Bagi yg memandikan, tak ada syarat tertentu, boleh bahkan
dimandikan oleh anak anak dibawah umur dewasa, bahkan dijelaskan oleh Imam
Arramly diperbolehkan dimandikan oleh Jin pun sah, namun disunnahkan adalah
keluarga terdekat, dan hukum memandikan jenazah muslim adalah fardhu kifayah
Sekurang-kurangnya mandi untuk melepaskan kewajiban itu
adalah sekali,merata ke seluruh badannya, setelah dihilangkan najis yang ada
pada badannya. Sebaiknya mayat itu diletakkan di tempat yang tinggi,seperti
balai, di tempat yang sunyi, berserta tidak ada orang yang masuk ke tempat itu
melainkan orang yang memandikan dan orang yang menolong mengurus keperluan yang
bersangkutan dengan mandi itu.
Pakaiannya diganti dengan kain basahan (kain mandi), untuk
kain mandi itu sebaiknya kain sarung, supaya auratnya tidak mudah terbuka.
Sesudah diletakkan di atas tempatnya, kemudian didudukkan dan disandarkan
punggungnya kepada sesuatu, lantas disapu perutnya dengan tangan dan ditekankan
sedikit, supaya keluar kotorannya.
Perbuatan itu hendaklah diikuti dengan air dan harum-haruman
agar menghilangkan bau kotoran yang keluar. Sesudah itu, mayat dilentangkan
lantas dicebokkan dengan tangan kiri yang memakai sarung tangan sesudah cebok,
sarung tangan hendaklah diganti dengan yang bersih, lantas dimasukkan anak jari
kiri ke mulutnya,digosak giginya dan dibersihkan mulutnya, dan diwu’dhukan.
Kemudian dibasuhkan kepala, janggut dan disisir rambut dan
janggutnya perlahan-lahan. Rambut yang tercabut hendaklah dicampur kembali
ketika mengkafankannya. Lantas dibasuh sebelah kanannya, kemudian dibaringkan
ke sebelah kirinya dan dibasuh badannya sebelah kanannya kemudian dibaringkan
lagi sebelah kanannya dan dibasuh sebelah kiri. Peraturan sekalian yang
tersebut dihitung satu kali. Disunatkan tiga atau lima kali .
Air pemandian mayat ini sebaliknya air dingin, terkecuali
jika berhajat kepada air panas karena sangat dingin atau karena susah
menghilangkan kotoran. Baik juga pakai sabun atau sebagainya, dan membasuhnya.
Adapun air pembasuh penghabisan (pembilasan) itu, baik dicampur dengan kapur
barus sedikit atau harum-haruman yang lain.
Dari Ummi Athiyah : Nabi SAW telah masuk kepada kami sewaktu
kami memandikan anak beliau yang perempuan, lalu beliau berkata: Mandikanlah
dia tiga kali atau lima kali atau lebih kalau kamu pandang baik lebih dari itu
dengan air serta daun bidara, dan basuh yang penghabisan hendaklah dicampur
dengan kapur barus, mulailah oleh kamu dengan bagian badan sebelah kanan dan
anggota wudhu-nya. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Yang berhak memandikan mayat.
Kalau mayat itu lelaki hendaklah yang memandikannya lelaki,
tidak boleh perempuan memandikan mayat lelaki, terkecuali isteri dan mahramnya.
Sebaliknya jika mayat itu perempuan hendaklah dimandikan oleh perempuan pula;
tidak boleh lelaki memandikan mayat perempuan terkecuali suami atau mahramnya.
Jika suami dan mahramnya sama-sama ada suami lebih berhak memandikan isterinya.
Begitu juga jika isteri dan mahramnya sama-sama ada, maka isteri lebih berhak
untuk memandikan suaminya.
Bila meninggal seseorang perempuan, dan tempat itu tidak ada
perempuan, suami atau mahramnya, maka mayat itu hendaklah ditayammumkan saja,
tidak dimandikan oleh lelaki lain. Begitu juga sebaliknya jika lelaki yang
meninggal. Kalau mayat anak-anak lelaki atau perempuan maka boleh dimandikan
oleh lelaki dan perempuan.
Jika ada beberapa orang yang berhak memandikan, maka yang
lebih berhak ialah keluarga yang terdekat kepada mayat. Kalau ia mengetahui
akan kewajiban mandi serta dipercayai, kalau tidak berpindahlah hak tersebut
kepada yang lebih jauh yang berpengetahuan serta amanah (dipercayai).
Dari Aisyah berkata Rasulullah SAW “Barang siapa memandikan
mayat dan dijaga kepercayaan, tidak dibukakannya kepada orang lain apa-apa yang
dilihat pada mayat itu, bersihlah ia dari segala dosanya seperti keadaannya
sewaktu dilahirkan oleh ibunya. Kata beliau lagi,hendaklah yang mengimaminya
adalah keluarga yang terdekat dari mayat jika pandai memandikan mayat, jika ia
tidak pandai maka siapa saja yang dipandang berhak karena amanahnya.” (Riwayat
Ahmad)
2. Mengkafankan Mayat.
Hukum mengkafankan(membungkus) mayat itu adalah “Fardu
Kifayah” atas orang yang hidup. Kafan itu diambil dari harta si mayat sendiri,
jika ia meninggalkan harta, kalau ia tidak meninggalkan harta, maka kafan atas
orang yang wajib memberi belanjanya ketika ia hidup. Kalau yang wajib
memberikan belanja itu tidak pula mampu, hendaklah diambil dari Baitulmal, bila
ada Baitulmal dan diatur menurut hukum agama Islam. Jika Baitulmal tidak ada
atau tidak teratur, maka wajib atas orang Muslim yang mampu. Demikian pula belanja
yang lain-lain yang bersangkutan dengan keperluan mayat.
Untuk lelaki
Kafan sekurang-kurangnya selapis kain yang menutupi sekalian
badan mayat, baik mayat lelaki maupun perempuan. Sebaiknya untuk lelaki tiga
lapis kain, tiap-tiap lapis daripadanya menutupi seluruh badannya. Sebagian
ulama berpendapat , satu daripada tiga lapis itu, hendaklah izar (kain mandi)
,dua lapis menutupi sekalian badannya.
Cara Memakainya :
Dihamparkan sehelai-sehelai dan ditaburkan di atas tiap-tiap
lapis itu harum-haruman seperti kapur barus dan sebagainya. Kedua tangannya
diletakkan di atas dadanya. Tangan kanan di atas tangan kiri, dan boleh juga
kedua tangan itu diluruskan menurut lambungnya(rusuknya). Dari Aisyah :”
Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang dibuat dari
kapas tidak ada dalamnya baju dan tiada pula serban.” (Muttafaqun alaih)
Untuk Perempuan
Adapun mayat perempuan maka sebaiknya dikafani dengan lima
lembar, yaitu basahan (kain basah), baju, kepala, mukena dan kain yang menutupi
seluruh badannya.
Cara Memakainya :
Dipakai kain basahan, baju, tutup kepala, lalu kekudung,
kemudian dimasukkan dalam kain yang menutupi seluruh badannya. Di antara
beberapa lapisan kain tadi sebaiknya diberi harum-haruman seperti kapur barus.
Dari Laila binti Qanif, katanya:”Saya salah seorang yang
turut memandikan Ummi Kalsum binti Rasulullah SAW ketika wafatnya. Yang
mula-mula diberikan olah Rasulullah SAW kepada kami ialah kain basahan,
kemudian baju. Kemudian tutup kepala, lalu kekudung dan sesudah itu dimasukkan
dalam kain yang lain (yang menutupi sekalian badannya).” Kata Laila,”Sedang
Nabi berdiri di tengah pintu membawa kepadanya dan memberikannya kepada kami
sehelai demi sehelai.”( Riwayat Ahmad dan Abu Daud).
Terkecuali dari itu, orang yang mati sedang dalam ihram haji
atau umrah, tidak boleh diberi harum-haruman dan jangan pula ditutupkan
kepalanya.
Dari Ibnu Abbas, katanya -”Ketika seorang lelaki sedang
wukuf mengerjakan haji bersama-sama Rasulullah SAW di padang Arafah tiba-tiba
laki-laki itu terjatuh dari kendaraannya lalu meninggal. Maka dikabarkan orang
kejadian itu kepada Nabi SAW. Beliau berkata: Mandikanlah ia dengan air dan
daun bidara dan kafankanlah ia dengan dua kain ihramnya. Jangan kamu beri dia
harum- haruman dan jangan ditutup kepalanya, maka sesungguhnya Allah akan
membangkitkan dia nanti pada akhirat seperti keadaannya sewaktu berihram”.
Rosulullah saw bersabda: “Pakailah olehmu kain kamu yang
putih ,karena sesungguhnya kain putih itu adalah sebaik-baiknya kain, dan
kafanlah mayat kamu dengan kain putih itu” .(Riwayat Tirmidzi).
Membaikkan Pemakaian Kafan .
Dari jabir berkata Rasulullah SAW,” Apabila salah seorang
kamu mengkafankan saudaranya, hendaklah dibaikkan kafannya itu.”(Riwayat
Muslim)
Kafan yang baik, maksudnya,baik sifatnya dan baik cara
memakainya,serta terjadi dari bahan yang baik. Sifat-sifatnya telah diterangkan
yaitu kain yang putih. Begitu pula cara memakainya yang baik. Adapun baik yang
bersangkut dengan dasar kain, ialah jangan sampai berlebih-lebihan memiliki
dasar kain yang mahal-mahal harganya.
Dari Ali Abi Talib berkata Rasulullah SAW, janganlah kamu
berlebih-lebihan memilih kain yang mahal-mahal untuk kafan,karena sesungguhnya
kafan itu akan hancur dengan segera.”(Riwayat Abu Daud).
3. SHOLAT JENAZAH
Sholat Jenazah merupakan salah satu di antara perkara yang
wajib yang dilakukan atas orang-orang yang hidup sebagai fardu kifayah dan
disunatkan sholat berjamaah sebagaimana sabda Rasullullah SAW : “Tidaklah ada
di antara seorang muslim yang mati kemudian sholat ke atasnya 40 orang lelaki
yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun melainkan disyafaatkan Allah
padanya” (HR. Muslim)
Jika yang shalat dengan imam hanya satu orang, maka orang
itu tidak berdiri pas di samping imam sejajar seperti halnya dalam
shalat-shalat lain, tapi ia berdiri di belakang imam. (Dari sini anda
mengetahui kesalahan banyak orang bahkan orang-orang terpelajar yaitu dalam
shalat-shalat biasa lainnya jika hanya berdua maka yang ma’mum mundur sedikit
dari posisi yang sejajar imam).
Yang tidak wajib hukumnya dishalati (tapi boleh) :
• Anak yang belum baligh [Boleh dishalati meskipun lahir
karena keguguran, yaitu yang gugur dari kandungan ibunya sebelum sempurna umur
kandungan. Ini jika umurnya dalam kandungan ibunya sampai empat bulan. Jika
gugur sebelum empat bulan maka ia tidak dishalati].
• Orang yang mati syahid
Disyariatkan menshalati :
• Orang yang meninggal karena dibunuh dalam pelaksaanaan
huhud hukum Allah
• Orang yang berbuat dosa dan melakukan hal-hal yang haram.
Orang ahlul ilmi dan ahlul diin tidak menshalati supaya menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang seperti itu
• Orang yang berutang yang tidak meninggalkan harta yang
bisa menutupi utang-utangnya, maka orang yang seperti ini dishalati
• Orang yang dikuburkan sebelum dishalati (atau sebagian
orang sudah menshalati sementara yang lainnya belum menshalati) maka mereka
boleh menshalati di kuburnya.
• Orang yang mati di suatu tempat dimana tidak ada
seorangpun yang menshalati di sana, maka sekelompok kaum muslimin menshalatinya
dengan shalat gaib. [Karena tidak semua yang meninggal dishalati dengan shalat
gaib]
Adab-adab sholat Jenazah:
• Lebih afdhal jika shalat jenazah di luar masjid, yaitu di
suatu tempat yang disiapkan untuk shalat jenazah, dan boleh juga di masjid
karena semuanya ini pernah diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
• Jika kebetulkan banyak sekali jenazah terdiri dari jenazah
laki-laki dan jenazah wanita, maka mereka dishalati sekali shalat. Jenazah
laki-laki (meskipun masih anak-anak) diletakkan lebih dekat dengan imam,
sedangkan jenazah wanita di arah kiblat atau boleh juga dishalati satu persatu,
karena ini adalah hukum asalnya.
• Pemimpin umat atau wakilnya lebih berhak menjadi imam
dalam shalat, jika keduanya tidak ada maka yang lebih pantas mengimami adalah
yang lebih baik bacaan/hafalan Qur’an-nya, kemudian yang selanjutnya
tersebutkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Imam berdiri di posisi kepala mayat laki-laki dan di
posisi pertengahan mayat wanita.
• Jika yang shalat dengan imam hanya satu orang, maka orang
itu tidak berdiri pas di samping imam sejajar seperti halnya dalam
shalat-shalat lain, tapi ia berdiri di belakang imam. [Dari sini anda
mengetahui kesalahan banyak orang bahkan orang-orang terpelajar yaitu dalam
shalat-shalat biasa lainnya jika hanya berdua maka yang ma'mum mundur sedikit
dari posisi yang sejajar imam]
• Disukai membuat shaf/baris di belakang imam tiga shaf ke
atas dan Jumlah minimal jemaah yang tersebutkan dalam pelaksanaan shalat
jenazah adalah tiga orang dan juga lebih banyak jumlah jemaah lebih afdhal bagi
mayyit.
• Bacaan dalam shalat jenazah sifatnya sir [pelan].
• Orang yang berutang yang tidak meninggalkan harta yang
bisa menutupi utang-utangnya, maka orang yang seperti ini dishalati
• Orang yang dikuburkan sebelum dishalati (atau sebagian
orang sudah menshalati sementara yang lainnya belum menshalati) maka mereka
boleh menshalati di kuburnya.
• Orang yang mati di suatu tempat dimana tidak ada seorangpun
yang menshalati di sana, maka sekelompok kaum muslimin menshalatinya dengan
shalat gaib. [Karena tidak semua yang meninggal dishalati dengan shalat gaib]
• Tidak boleh shalat pada waktu-waktu terlarang, kecuali
karena darurat. [waktu-waktu terlarang; saat terbitnya matahari, tatkala
matahari pas dipertengahan dan tatkala terbenam]
• Shalat jenazah tidak dilakukan dengan ruku’, sujud maupun
iqamah, melainkan dalam posisi berdiri sejak takbiratul ihram hingga salam.
Berikut adalah urutannya:
1. Berniat, niat shalat ini, sebagaimana juga shalat-shalat
yang lain cukup diucapkan didalam hati dan tidak perlu dilafalkan, tidak
terdapat riwayat yang menyatakan keharusan untuk melafalkan niat.
2. Takbiratul Ihram pertama kemudian membaca surat Al
Fatihah
3. Takbiratul Ihram kedua kemudian membaca shalawat atas
Rasulullah SAW minimal :“Allahumma Shalli ‘alaa Muhammadin” artinya : “Yaa
Allah berilah shalawat atas nabi Muhammad”
4. Takbiratul Ihram ketiga kemudian membaca do’a untuk
jenazah minimal:“Allahhummaghfir lahu warhamhu wa’aafihi wa’fu anhu” yang
artinya : “Yaa Allah ampunilah dia, berilah rahmat, kesejahteraan dan
ma’afkanlah dia”.Apabila jenazah yang dishalati itu perempuan, maka bacaan
Lahuu diganti dengan Lahaa. Jika mayatnya banyak maka bacaan Lahuu diganti
dengan Lahum.
5. Takbir keempat kemudian membaca do’a minimal:“Allahumma
laa tahrimnaa ajrahu walaa taftinna ba’dahu waghfirlanaa walahu.”yang artinya :
“Yaa Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai kepadanya atau janganlah
Engkau meluputkan kami akan pahalanya, dan janganlah Engkau memberi kami fitnah
sepeninggalnya, serta ampunilah kami dan dia.” Atau Berdoa dengan doa yang sah
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti : “Alahumma ‘abduka wabna
amatika ahyaaja ilaa rahmatika wa anta ghaniyyi an ‘adzabihi in kana muhsinan
farid fii hasanaatihi, saayyian fatajawaja ‘an sayyiatihi” Artinya : “Ya Allah,
ini adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, ia memerlukan rahmat-Mu, Engkau berkuasa
untuk tidak menyiksanya, jika ia baik maka tambahlah kebaikannya, jika ia jahat
maka maafkanlah kejahatannya”
6. Mengucapkan salam
Bila terdapat keluarga atau muslim lain yang meninggal di
tempat yang jauh sehingga jenazahnya tidak bisa dihadirkan maka dapat dilakukan
shalat ghaib atas jenazah tersebut. Pelaksanaannya serupa dengan sholat
jenazah, perbedaan hanya pada niat sholatnya. Niat shalat ghaib :“Ushalli ‘alaa
mayyiti (Fulanin) al ghaaibi arba’a takbiraatin fardlal kifaayati lillahi
ta’alaa” Artinya : “aku niat shalat gaib atas mayat (fulanin) empat takbir fardu
kifayah sebagai (makmum/imam) karena Allah””
kata fulanin diganti dengan nama mayat yang dishalati.
4. Menguburkan Mayat
Adab-adab menguburkan mayat:
• Wajib menguburkan mayyit, meskipun kafir.
• Tidak boleh menguburkan seorang muslim dengan seorang
kafir, begitu pula sebaliknya, harus dipekuburan masing-masing.
• Menurut sunnah Rasul, menguburkan di tempat penguburan,
kecuali orang-orang yang mati syahid mereka dikuburkan di lokasi mereka gugur
tidak dipindahkan ke penguburan. [Hal ini memuat bantahan terhadap sebagian
orang yang mewasiatkan supaya dikuburkan di masjid atau di makam khusus atau di
tempat lainnya yang sebenarnya tidak boleh di dalam syariat Allah Subhanahu wa
Ta'ala]
• Tidak boleh menguburkan pada waktu-waktu terlarang [Lihat
Bagian XII No 27] atau pada waktu malam, kecuali karena dalam keadaan darurat,
meskipun dengan cara memakai lampu dan turun di lubang kubur untuk memudahkan
pelaksanaan penguburan.
• Wajib memperdalam lubang kubur, memperluas serta
memperbaiki.
• Penataan kubur tempat mayat ada dua cara yang dibolehkan :
[a] Lahad : yaitu melubangi liang kubur ke arah kiblat (ini
yang afdhal).
[b] Syaq : Melubangi ke bawah di pertengahan liang kubur.
• Dalam kondisi darurat boleh menguburkan dalam satu lubang
dua mayat atau lebih, dan yang
lebih didahulukan adalah yang lebih afdhal di antara mereka.
• Yang menurunkan mayat adalah kaum laki-laki (mekipun
mayatnya perempuan).
• Para wali-wali si mayyit lebih berhak menurunkannya.
• Boleh seorang suami mengerjakan sendiri penguburan
istrinya.
• Dipersyaratkan bagi yang menguburkan wanita ; yang semalam
itu tidak menyetubuhi isterinya.
• Menurut sunnah : memasukkan mayat dari arah belakang liang
kubur.
• Meletakkan mayat di atas sebelah kanannya, wajahnya
menghadap kiblat, kepala dan kedua kakinya melentang ke kanan dan kekiri
kiblat.
• Orang yang meletakkan mayat di kubur membaca : “bismillahi
wa’alaa sunnati rasuulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallama” -Artinya : ‘(Aku meletakkannya)
dengan nama Allah dan menurut sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”
atau : “bismillahi wa ‘alaa millati rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallama”
– Artinya : “(Aku meletakkan) dengan nama Allah dan menurut millah (agama)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
• Setelah menimbun kubur disunahkan hal-hal sebagai berikut:
a. Meninggikan kubur sekitar sejengkal dari permukaan tanah,
tidak diratakan, supaya Dapat dikenal dan dipelihara serta tidak dihinakan.
b. Meninggikan hanya dengan batas yang tersebut tadi.
c. Memberi tanda dengan batu atau selain batu supaya
dikenali.
d. Berdiri di kubur sambil mendoakan dan memerintahkan
kepada yang hadir supaya mendoakan dan memohonkan ampunan juga. (Inilah yang
tersebutkan di dalam sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun talqin
yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam pada zaman ini maka hal itu tidak
ada dalil landasannya di dalam sunnah).
• Boleh duduk saat pemakaman dengan maksud memberi
peringatan orang-orang yang hadir akan kematian serta alam setelah kematian.
[Hadits Al-Barra bin 'Aazib]
• Menggali kuburan sebagai persiapan sebelum mati, yang
dilakukan oleh sebagian orang adalah perbuatan yang tidak dianjurkan dalam
syari’at, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hal
itu, para sahabat beliaupun tidak melakukannya. Seorang hamba tidak mengetahui
di mana ia akan mati. Jika ia melakukan hal itu dengan dalih supaya
bersiap-siap mati atau untuk mengingat kematian maka itu dapat dilakukan dengan
cara memperbanyak amalan shaleh, berziarah ke kubur, bukan dengan cara
melakukan hal-hal yang hanya dibikin-bikin oleh orang [Disalin dari kitab
Muhtasar Kitab Ahkaamul Janaaiz wa Bid'auha, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albany, diringkas oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan diterjemahkan
oleh Muhammad Dahri Komaruddin]
Tambahan:
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengebumikan mayat pada
waktu malam itu sama saja dengan menguburkan mayat pada waktu siang.
Rasulullah s.a.w pernah menguburkan seorang lelaki yang
selalu berzikir dengannya pada waktu malam. Syaidina Ali juga menguburkan
Syaidatina Fatimah pada malam hari. Saidina Abu Bakar, Usman, Syaidatina Aishah
dan Ibn Masud juga dikebumikan pada waktu malam.
Walaupun demikian menguburkan mayat pada waktu malam itu
dibolehkan sekiranya hak-hak yang berkaitan dengan mayat itu telah sempurna
dilakukan. Sekiranya hal seperti ini tidak dipenuhi maka perbuatan itu
dilarang.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim menyatakan
bahwa nabi pada satu hari telah memberi penerangan kepada orang ramai dan
menyebut tentang seorang lelaki sahabatnya yang meninggal lalu dikafankan
dengan kain kafan yang tidak mencukupi dan dikebumikan pada waktu malam. Nabi
telah mencela amalan menguburkan mayat pada waktu malam kecuali seseorang itu
terpaksa melakukannya. Begitu juga keterangan daripada sebuah hadis lain yang
diriwayatkan oleh ibnu Majah daripada Jabir.
Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim
dan as-sahibus Sunan daripada Uqbah katanya, ada tiga waktu di mana nabi
mencegah kami mensholatkan mayat, yaitu ketika tepat waktu terbitnya matahari,
ketika tepat tengah hari dan ketika hampir terbenam matahari hingga terbenam.
Meskipun begitu, sekiranya keadaan memaksa, seperti
dikhawatirkan mayat menjadi busuk, maka mengebumikan mayat pada waktu itu boleh
dilakukan dengan sengaja tanpa sebab darurat seperti yang dijelaskan, hukumnya
adalah makruh.
Perlu dijelaskan bahwa dalam pengebumian ini, setiap orang
perlu memastikan bahwa mayat yang dikubur itu tidak dapat digali oleh binatang
buas. Kerana itu kubur perlu digali dalam sekira-kira bau mayat itu tidak dapat
dicium oleh manusia juga binatang termasuk burung-burung.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Nasai daripada
Hisyam bin Amir, juga oleh Tirmidzi katanya: Kami telah mengadu kepada
Rasulullah s.a.w ketika perang Uhud. “Ya Rasulullah, adalah sukar bagi kami
untuk menggali kubur untuk setiap mayat.’’
Mendengar kata itu, Rasulullah bersabda: Galilah kamu semua,
dalamkan dan perelokkan, kuburlah dua atau tiga mayat dalam satu kubur.
Mereka bertanya: Siapakah yang kami hendak dahulukan ya
Rasulullah? Baginda menjawab: Dulukan yang banyak hafal al-Quran. Bapakku adalah
termasuk dalam salah seorang yang dikuburkan dalam sebuah kubur yang memuat
tiga jenazah.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dan Ibnu Munzir daripada Umar ra bahwa ia berpesan: Galilah kubur itu setinggi
ketika mayat tegak dan selebar badan.
Satu perkara lain yang perlu juga kita fahami adalah tentang
bentuk lubang kubur itu sendiri. Ada kubur yang digali yang diberi liang di
sisi kubur pada arah kiblat. Di atasnya diletakkan papan-papan menjadikan
bentuknya seakan-akan rumah yang beratap. Satu bentuk lain dinamakan syaq,
yaitu liang yang dibuat di tengah-tengah kubur.
Mengenai cara memasukkan mayat dalam kubur, hendaklah
dilakukan pada bagian belakangnya, yaitu sekiranya ia tidak mengalami masalah.
Sekiranya menghadapi masalah untuk berbuat demikian, maka ia boleh dimasukkan
bagian mana saja.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah dan Bayhaqi
daripada keterangan Abdullah bin Aid, bahawa ia memasukkan mayat dalam kubur
dari arah kedua-dua kakinya, katanya: Ini adalah sunnah.
Menurut Ibnu Hazim, memasukkan mayat dalam kubur itu boleh
dilakukan dari bagian mana saja, sama dengan bagian arah kiblat atau sebaliknya
atau dari arah kepala, ataupun dari arah kaki, karena tidak ada satu keterangan
yang tegas mengenainya.
Menurut sunnah, mayat hendaklah dibaringkan dalam kuburnya
pada sisinya yang kanan dengan mukanya ke arah kiblat. Orang yang berbuat
demikian hendaklah membaca Bismillah wa’ala millati rasulillah (dengan nama
Allah dan menurut agama (sunnah) Rasulullah. Tali yang mengikat mayat hendaklah
diuraikan.
Menurut sebuah hadis yang diterima daripada Ibnu Umar ia
berkata: Bahwa nabi apabila meletakkan mayat dalam kubur, baginda mengucapkan:
Bismillah wa’ala millati rasulullah atau wa’ala sunnati rasulillah.
Sebagian periwayat menganggap makruh meletakkan kain,
selimut dan sebagainya untuk mayat dalam kubur. Manurut Ibnu Hazim tidak salah
meletakkan kain hamparan di bawah mayat, berdasarkan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim, daripada Ibnu Abbas, katanya: Pada makam Rasulullah
telah dihamparkan permaidani merah. Ia berkata: Dan Allah telah membiarkan
perbuatan ini dalam upacara pengebumian Rasulullah seorang manusia yang maksum
dan tidak mencegahnya. Dilakukan oleh manusia pilihan di muka bumi secara
ijmak, tanpa seorang pun yang menentangnya.
Ada ulama menganggap sunat meletakkan kepala mayat di atas
bantal yang diperbuat daripada tanah liat, batu atau tanah biasa dalam keadaan
pipi kanannya dicecahkan pada bantal tanah dan sebagainya setelah kain kapan
dibuka daripada pipinya. Syaidina Umar ra pernah berkata: Andainya kamu
menurunkan mayatku ke liang lahad nanti, tempelkan pipiku ke tanah.
Memang benar bahwa amalan akan mengendalikan mayat dan akan
memberi kemudahan, yaitu bagi mereka yang dapat mengambil ikhtibarnya.
Wallahu ‘alam bishowab
KITABUL AHKAMIZZAKATI
Definisi
Secara bahasa, zakat berarti tumbuh berkembang. Secara
syariat, zakat adalah istilah untuk harta khusus yang diambil dari harta
tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu dan disalurkan hanya kepada pihak-pihak
tertentu.
Lima Jenis Harta Wajib Zakat
Zakat diwajibkan kepada 5 (lima) jenis harta orang muslim:
(i) Hewan ternak, (ii) Barang berharga, maksudnya adalah emas dan perak, (iii)
Tanaman, (iv) Biji-bijian, dan (v) Barang perdagangan. Tentang ke lima jenis
harta tersebut akan kami detailkan nanti.
Adapun hewan ternak, maka zakatnya wajib atas 3 (tiga) jenis
hewan, yaitu: (i) Unta, (ii) Sapi/kerbau, dan (Kambing). Maka, tidak ada
kewajiban zakat atas kuda, budak, dan hewan hasil persilangan antara kambing dengan
kijang, misalnya.
Syarat Wajib Zakat
Ada 6 (enam) point persyaratan, yaitu:
Islam, maka tidak wajib zakat atas orang-orang kafir asli
(kafir asli adalah orang yang terlahir sebagai orang kafir karena kedua orang
tuanya kafir dan tidak pernah masuk Islam). Adapun orang yang murtad, maka yang
terbenar dari berbagai pandangan ulama adalah hartanya mauquf (disita oleh
pemerintahan Islam -pent). Jika ia kembali masuk Islam, maka zakat wajib
atasnya, jika ia tetap dalam kemurtadannya, maka tidak ada kewajiban apapun
atasnya.
Merdeka, maka zakat tidak wajib atas seorang budak. Adapun
seseorang yang memiliki dua status secara bersamaan, yaitu merdeka dan budak,
maka zakat diwajibkan kepada hartanya yang berstatus merdeka.
Milik sempurna, maksudnya adalah dimiliki secara penuh.
Maka, kepemilikan yang belum sempurna tidak wajib zakat, semisal seseorang yang
membeli barang, namun ia belum menerima barang tersebut. Ini selaras dengan
qaul qadim-nya Imam Syafi’iy. Namun qaul jadid-nya Imam Syafi’iy menyatakan tetap
wajib zakat walaupun barang tersebut belum ia terima. (Qaul Jadid atau
perkataan baru, maksudnya adalah semua pandangan dan fatwa Imam Syafi’iy yang
dikemukakan semenjak beliau tinggal Di Mesir hingga akhir hayatnya -pent).
Nishab dan Haul. Jika seseorang memiliki sesuatu harta,
namun belum mencapai jumlah nishab atau belum sampai satu tahun (12 bulan),
maka tidak ada zakatnya.
Padang bebas. Ini khusus hewan ternak. Maksudnya adalah
hewan ternak yang digembalakan di padang bebas atau di hutan yang tidak ada
biaya dalam hal tersebut. Hewan ternak yang demikianlah yang ada kewajiban
zakatnya. Maka, jika ada ternak yang digemukkan di dalam kandangnya dalam
hampir sebagian besar waktunya selama satu tahun, maka tidak ada zakatnya.
Namun jika dikandangkan selama 6 bulan atau kurang sedikit dan digembalakan
selama 6 bulan, maka tidak apa-apa jika ia menunaikan zakatnya atau tidak
membayarnya.
Barang berharga, maksudnya adalah emas dan perak, akan kami
detailkan kemudian. Adapun persyaratan wajib zakat emas dan perak ada 5 point,
yaitu:
Islam
Merdeka
Milik sempurna
Nishab
Haul
Tentang ini, akan kami detailkan kemudian.
Adapun tanaman, maka yang dimaksud adalah biji-bijian
seperti gandum, adas, dan beras. Demikian juga seperti jewawut dan kacang
hijau.
Wajibnya zakat atas tanaman, harus menuhi tiga syarat,
yaitu:
Ditanam oleh manusia, maka jika ia tumbuh dengan sendirinya,
seperti terbawa oleh air atau angin lalu ia tumbuh di lahan tersebut, maka
tidak ada zakatnya.
Berupa biji-bijian yang bisa disimpan lama. Maka, tanaman
yang bukan biji-bijian dan tidak bisa disimpan, tidak wajib zakat.
Mencapai nishab, yaitu 5 (lima) wasaq (include zakatnya) dan
sudah bersih siap dikonsumsi. Pada sebagian naskah disebutkan: Harus mencapai 5
wasaq tidak termasuk zakatnya.
Adapun buah-buahan, maka ia wajib zakat atas dua jenis buah,
yaitu: (i) kurma dan buah anggur. Syarat wajib zakat atas buah-buahan ada 4
(empat) point adalah:
Islam
Merdeka
Milik sempurna
Nishab
Maka, kapanpun buah-buahan tidak memenuhi salah satu dari 4
syarat di atas, maka tidak wajib zakat.
Adapun barang dagangan, maka kewajiban zakatnya ditentukan
berdasarkan persyaratan yang berlaku pada zakat barang berharga (emas dan
perak) sebagaimana sudah kami sebutkan terdahulu. Dan perdagangan maksudnya
adalah mendayagunakan harta, memutar modal dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan.
Nishab Unta
Awal nishab unta adalah 5 ekor, zakatnya seekor kambing
dha’n (kambing yang memiliki bulu lebat/domba -pent) yang berumur satu tahun
dan masuk tahun ke dua, atau kambing yang berumur dua tahun dan masuk tahun ke
tiga.
10 ekor unta, zakatnya dua ekor kambing
15 ekor unta, zakatnya 3 kambing
20 ekor unta, zakatnya 4 ekor kambing
25 ekor unta, zakatnya 1 bintu makhadh
36 ekor unta, zakatnya 1 bintu labun
46 ekor unta, zakatnya 1 hiqqah
61 ekor unta, zakatnya 1 jadza’ah
76 ekor unta, zakatnya 2 bintu labun
91 ekor unta, zakatnya 2 hiqqah
121 ekor unta, zakatnya 3 bintu labun
Dan seterusnya.
Ini sangat gamblang, tidak perlu lagi akan penjelasan.
Bintu makhadh adalah unta yang berumur 1 tahun dan masuk
tahun ke dua.
Bintu labun adalah unta yang berumur 2 tahun dan masuk tahun
ke tiga.
Hiqqah adalah unta yang berumur 3 tahun dan masuk tahun ke
empat
Jadza’ah adalah unta yang berumur 4 tahun dan masuk tahun ke
lima.
Dan pada setiap kelipatan 40 ekor, setelah 121, zakatnya 1
ekor bintu labun
Dan setiap kelipatan 50 ekor, setelah 121, zakatnya 1
hiqqah. Maka, jika unta 140, zakatnya 2 hiqqah dan 1 bintu labun, dan jika unta
150, zakatnya 3 hiqqah. Demikian.
Nishab Sapi/Kerbau
Awal nishab sapi adalah 30 ekor, maka ia sudah wajib zakat.
Pada sebagian naskah, disebutkan zakatnya 1 tabi’, yaitu sapi (jantan) yang
berusia 1 tahun dan masuk tahun kedua. Disebut tabi’ karena pada usia itu ia
masih ikut kemanapun induknya pergi. Namun, jika ia menunaikan zakatnya 1 ekor
tabi’ah (betina), sah.
40 ekor sapi, zakatnya 1 musannah, yaitu yang berusia 2
tahun dan masuk tahun ke 3. Disebut musannah karena pada usia ini, giginya
sudah lengkap. Namun, jika ia menunaikan zakatnya 2 ekor tabi’ (jantan) maka
sah, menurut pandangan yang terbenar dari pandangan ulama.
120 ekor sapi, zakatnya 3 ekor musannah (betina) atau 4 ekor
tabi’ah (betina).
Nishab Kambing
Awal nishab untuk kambing adalah 40 ekor, baik berupa dha’n
(kambing yang memiliki bulu lebat/domba -pent). Zakatnya 1 ekor jadza’ah domba
(usia 6 bulan) atau kambing biasa yang berusia 1 tahun.
121 ekor kambing, zakatnya 2 kambing
201 ekor kambing, zakatnya 3 kambing
400 ekor kambing, zakatnya 4 kambing
Dan setiap kelipatan 100, zakatnya 1 ekor kambing. Ini
demikian gamblang dan tidak memerlukan penjelasan lagi.
Jika Dua Pemilik Bercampur Dalam Penggembalaan
Jika dua orang berserikat dalam sebuah ternak sebanyak 80
ekor kambing, masing-masing 40 ekor, maka zakatnya 1 ekor. Jika dua orang
berserikat dalam sebuah ternak sebanyak 40 ekor kambing, masing-masing 20 ekor,
maka zakatnya 1 ekor kambing. Atau jumlahnya tidak sama, seperti dua orang yang
berserikat dalam 60 ekor kambing, satu orang memiliki sepertiganya (20 ekor) dan
seorang lagi memiliki dua pertiganya (40 ekor). Atau jumlahnya sama atas
masing-masing dari dua orang tersebut, seperti 200 ekor kambing, masing-masing
memiliki 100 ekor. Kesemuanya, zakatnya dihukumi sebagai satu kesatuan.
Syarat dalam perserikatan ini ada tujuh, yaitu:
Marah waidah. Satu lahan gembalaan
Masrah wahidan. Satu tempat tinggal ketika di malam hari
Ra’iy wahidan. Digembalakan oleh satu orang dan satu jenis
hewan.
Fihl wahidan. Satu jenis hewan. Jika beragam, seperti antara
domba dan kambing kacang, maka boleh secara masing-masing.
Syarab wahidan. Satu tempat minum, baik sumur, sungai, atau
danau atau yang lainnya.
Haalib wahidan. Satu dalam pemerah susunya. Dan ini adalah
salah satu dari dua pandangan ulama. Yang terbenarnya adalah tidak ada syarat
harus satu dalam pemerahan susunya.
Maudhi’ul halab. (difatahkan lam). Dan satu wadah/tempat
perahan susu. Imam Nawawi menghikayatkan bahwa halb (dengan disukunkan lam)
artinya adalah nama untuk susu yang sudah diperah. Para ulama lainnya juga
menjelaskan hal yang sama dengan Imam Namawy.
Nishab Barang Berharga
Nishab untuk emas adalah 20 mitsqal, dengan standar mitsqal
penduduk Mekkah. Zakatnya adalah seperempatnya yaitu sama dengan setengah
mitsqal. Dan jika jumlahnya lebih dari 20 mitsqal, walaupun sedikit, maka
zakatnya juga seperempatnya (2,5%). (Konversi 20 mitsqal/20 dinar dengan
standar sekarang adalah 85 gram emas murni (24K/99% -pent).
Dan nishab untuk perak adalah 200 dirham, zakatnya 2,5%,
yaitu sama dengan 5 dirham. Jika lebih dari 200 dinar, walaupun sedikit, maka
cara penghitungannya sama, yaitu 2,5%-nya. Tidak ada kewajiban zakat atas
maghsyusy, baik emas maupun perak, jika tidak sampai mencapai nishab (Maghsyusy
artinya emas atau perak yang tidak murni -pent). Dan tidak wajib zakat atas
perhiasan yang diperbolehkan. Adapun perhiasan yang diharamkan, seperti emas
pada laki-laki dan yang berjenis kelamin ganda, maka ada zakatnya.
Nishab Tanaman dan Biji-bijian
Nishab untuk tanaman dan biji-bijian adalah 5 wasaq. Lima
wasaq sama dengan 1600 ritel Iraq atau Baghdad. Jika jumlahnya lebih dari 5
wasaq maka penghitungannya adalah sesuai dengannya. Dan ritel Baghdad, menurut
Imam Nawawi, adalah sama dengan 128 dirham dan 4 saba’. Tanaman dan biji-bijian
itu adalah jika diairi dengan air hujan dan air sungai, maka zakatnya adalah
sepersepuluhnya (10%). Dan jika pengairannya dengan menggunakan hewan, untuk
mengangkut air tersebut dari sungai atau sumur, baik sapi atau unta, maka
zakatnya adalah 5 %. (5 wasaq dalam konversi standar kilogram adalah 900 kg
atau 9 kwintal, sebab 5 wasaq sama dengan 300 sha’, sedangkan satu sha sama
dengan 3 kg -pent).
Nishab Barang Dagangan, Mineral, dan Rikaz
Dan barang dagangan harus dihitung pada akhir tahun (haul),
baik mencapai nishab atau belum. Maka, jika ternyata pada akhir tahun, mencapai
nishab, ia harus dizakati, dan jika tidak sampai nishab maka tidak dizakati.
Zakatnya adalah 2,5%-nya.
Dan Ma’aadin/barang mineral/tambang yang dieksplorasi dari
dalam bumi, baik berupa emas atau perak, jika mencapai nishab, maka zakatnya
adalah 2,5%-nya pada saat ia diperoleh jika orang yang melakukan eksplorasinya
adalah orang yang termasuk wajib zakat (maksudnya adalah muslim -pent).
Ma’aadin adalah bentuk jamak dari ma’dan, yang artinya
adalah tempat atau lahan kosong atau lahan milik seseorang dimana Allah
menciptakan harta-benda atau barang berharga padanya.
Adapun rikaz, yaitu harta karun peninggalan orang kafir pada
zaman dahulu, yaitu keadaan seperti keadaan bangsa Arab sebelum datangnya
Islam, seperti tidak tahu akan Allah, Rasul-Nya, dan berbagai syariat Islam,
maka rikaz tersebut ada kewajiban zakatnya, yaitu seperlimanya (20 %) dan
disalurkan kepada 8 ashnaf, menurut pendapat yang masyhur dari kalangan pada
ulama. Sebagian ulama lainnya berpandangan disalurkan kepada mustahiq fai’,
sebagaimana disebutkan dalam ayat tentang fai’.
Zakat fithrah
Dan zakat fithri atau zakat fithrah –fithrah artinya
asal-muasal penciptaan manusia– diwajibkan dengan tiga hal di dalam Islam.
Maka, tidak wajib fithrah atas orang kafir ashliy, kecuali budaknya dan
kerabatnya yang muslim. Ditunaikan sejak tenggelamnya matahari di akhir
Ramadhan. Maka, pada keadaan ini, ditunaikanlah zakat fithrah walaupun pada
orang yang meninggal setelah maghribnya. Namun, bayi yang lahir setelah maghrib
pada akhir Ramadhan, tidak wajib zakat. Dan ada sisa kelebihan merupakan syarat
zakat fithrah. Sisa kelebihan artinya adalah sisa dari kebutuhan pribadi dan
keluarganya serta orang-orang yang wajib ia nafkahi untuk seukuran satu hari
satu malam Iedul fithri.
Zakat fithrah ditunaikan atas dirinya dan atas orang-orang
yang dalam tanggungannya, dengan syarat muslimin. Maka, seorang muslim tidak
diwajibkan untuk menunaikan zakat budaknya, kerabatnya, dan isterinya yang
kafir, walaupun mereka adalah orang yang wajib dinafkahinya.
Jika seseorang sudah ditetapkan wajib menunaikan zakat
fithrah, maka ia tunaikanlah ia sebanyak 1 sha’ berupa bahan makanan pokok
daerahnya. Jika di daerahnya ada beragam bahan makanan pokok, maka gunakanlah
yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Jika seseorang tinggal di daerah
terpencil yang tidak ada bahan makanan pokok yang berupa biji-bijian, maka
zakatnya berupa jenis biji-bijian bahan makanan pokok daerah yang terdekat
dengan daerah dimana ia tinggal.
Jika seseorang memiliki bahan makanan pokok, sebagai sisa
dari kebutuhan sehari semalam Iedul fithri, namun tidak sampai satu sha’ dan
hanya sebagiannya, maka tunaikanlah ia walaupun tidak sampai 1 sha’. Satu sha’
sama dengan 5,35 ritel Iraq. (Jika dikonversikan dengan ukuran kilogram sama
dengan 2,5 atau 3 kg -pent).
Mustahiq Zakat
Zakat diberikan kepada mustahiqnya yang berjumlah 8 ashnaf
(golongan), sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Qur’an yang mulia. Allah
berfirman: Dan sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk fakir, miskin, amil,
muallaf, fii riqab, gharim, fii sabilillah, dan ibnu sabil; Sebagai sebuah
kewajiban dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S.
At-Taubah: 60).
Detail ini demikian jelas sehingga tidak perlu saya
terangkan lagi, kecuali ashnaf saja:
Fakir, dalam topic zakat, adalah artinya orang yang tidak punya
harta sama sekali dan tidak punya penghasilan untuk membiayai kebutuhan
hidupnya. Adapun fakir secara umum adalah orang yang tidak punya uang di
tangan.
Miskin adalah orang yang memiliki sejumlah harta atau
penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidupnya, namun tidak cukup. Misalnya,
seseorang yang membutuhkan biaya hidup sehari 10 dirham, namun ia hanya
memiliki 7 dirham. Maka, yang demikian adalah dikategorikan miskin.
Amil adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Imam (Khalifah
atau pemimpin) untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada para mustahiq.
Muallaf, ada 4 kategori, diantaranya adalah orang yang baru
masuk Islam, ruh keislamannya masih lemah. Maka, ia diberi zakat. Adapun tiga
jenis muallaf lainnya sudah kami sebutkan dalam Al-Mabsuthat.
Fii riqab adalah adalah budak-budak yang sedang mengadakan
perjanjian dengan tuannya untuk mendapatkan kemerdekaan, secara benar. Adapun
jika perjanjiannya secara tidak benar/bathil, maka tidak berhak mendapatkan
zakat.
Gharim, maka ia ada 3 jenis: (i) Seseorang yang berhutang
untuk meredam fitnah antara dua kelompok muslimin tentang seseorang yang
terbunuh namun belum diketahui siapa pelakunya. Ia berhutang dengan tujuan
tersebut, maka ia diberi dana zakat dari hak gharim. Adapun dua jenis gharim
lainnya sudah kami sebutkan dalam Al-Mabsuthat.
Fii sabilillah, maka maksudnya adalah perang, dimana ia ikut
berperang karena keinginan dirinya sendiri, dan bukan termasuk orang-orang yang
ditanggung kebutuhan hidupnya.
Ibnu sabil, maka maksudnya adalah orang yang hendak
bepergian dari daerah dimana zakat itu diambil atau ia sedang melakukan
perjalanan di negerinya. Dan syarat seseorang ibnu sabil memperoleh zakat
adalah (i) membutuhkan, (ii) safarnya bukan berupa maksiat kepada Allah.
Dan juga, zakat diberikan kepada orang-orang yang termasuk
ke dalam salah satu ashnaf tersebut, walaupun tidak 8 ashnaf seluruhnya. Sebab,
terkadang sebagian ashnaf tidak ada. Jika seluruh ashnaf tidak ada, maka harta
zakat tersebut disimpan hingga ada mustahiq zakat di waktu mendatang.
Dan tidak boleh menyalurkan harta zakat hanya kepada orang
kurang dari 3 orang pada setiap jenis mustahiq, kecuali amil. Sebab, amil boleh
hanya berupa seorang saja, jika ternyata sudah cukup. Dan jika zakat hanya
disalurkan kepada 2 orang pada setiap jenis ashnafnya, maka orang ketiganya
dihutangkan.
Ada lima golongan yang haram menerima zakat, yaitu: (i)
Orang kaya, baik karena hartanya atau pekerjaannya, (ii) Budak, (iii) Bani
Hasyim, (iv) Bani Muththalib, baik dilarang dari menerima seperlima dari hak
khumus atau bukan, dan hanya dibolehkan mengambil dari harta shadaqah,
berdasarkan pendapat yang masyhur dari para ulama. (v) Orang kafir. Orang kafir
tidak berhak mendapatkan zakat. Dan pada sebagian naskah disebutkan juga, dan
orang-orang yang ada dalam tanggungan pezakat, maka ia haram menerima zakatnya
dengan alasan mereka fakir atau miskin, namun boleh diberi zakat jika mereka
ikut perang (jihad) atau termasuk gharim.***
Kitabul akhkamissiyami
Definisi
Puasa ialah menahan diri dari makan, minum dan bersenggama
mulai dari terbit fajar yang kedua sampai terbenamnya matahari. Firman Allah
Ta’ala: ”….dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam….”
(Al-Baqarah:187)
Kapan dan bagaimana puasa Ramadhan diwajibkan?
Puasa Ramadhan wajib dikerjakan setelah terlihatnya hilal,
atau setelah bulan Sya’ban genap 30 hari. Puasa Ramadhan wajib dilakukan
apabila hilal awal bulan Ramadhan disaksikan seorang yang dipercaya, sedangkan
awal bulan-bulan lainnya ditentukan dengan kesaksian dua orang yang dipercaya.
Siapa yang wajib berpuasa Ramadhan?
Puasa Ramadhan diwajibkan atas setiap muslim yang baligh
(dewasa), aqil (berakal), dan sanggup untuk berpuasa. Adapun syarat-syarat
wajibnya puasa Ramadhan ada empat, yaitu Islam, berakal, dewasa dan mampu. Para
ulama mengatakan anak kecil disuruh berpuasa jika kuat, hal ini untuk
melatihnya, sebagaimana disuruh shalat pada umur 7 tahun dan dipukul pada umur
10 tahun agar terlatih dan membiasakan diri.
Syarat sahnya puasa
Syarat-syarat sahnya puasa ada enam:
Islam: tidak sah puasa orang kafir sebelum masuk Islam.
Akal: tidak sah puasa orang gila sampai kembali berakal.
Tamyiz: tidak sah puasa anak kecil sebelum dapat membedakan
(yang balk dengan yang buruk).
Tidak haid: tidak sah puasa wanita haid, sebelum berhenti
haidnya.
Tidak nifas: tidak sah puasa wanita nifas, sebelum suci dari
nifas.
Niat: menyengaja dari malam hari untuk setiap hari dalam
puasa wajib. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tidak
sah puasanya.” (HR.Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi. Ia
adalah hadits mauquf menurut At-Tirmidzi). Dan hadits ini menunjukkan tidak
sahnya puasa kecuali diiringi dengan niat sejak malam hari yaitu di salah satu
bagian malam. Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah
bid’ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik.
Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja,
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada
selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya): “Apakah engkau
punya santapan siang? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa” [Hadits Riwayat
Muslim 1154].
Sunah Puasa
Sunah puasa ada enam:
Mengakhirkan sahur sampai akhir waktu malam, selama tidak
dikhawatirkan terbit fajar.
Segera berbuka puasa bila benar-benar matahari terbenam.
Memperbanyak amal kebaikan, terutama menjaga shalat lima
waktu pada waktunya dengan berjamaah, menunaikan zakat harta benda kepada
orang-orang yang berhak, memperbanyak shalat sunat, sedekah, membaca Al-Qur’an
dan amal kebajikan lainnya.
Jika dicaci maki, supaya mengatakan: “Saya berpuasa,” dan
jangan membalas mengejek orang yang mengejeknya, memaki orang yang memakinya,
membalas kejahatan orang yang berbuat jahat kepadanya; tetapi membalas itu
semua dengan kebaikan agar mendapatkan pahala dan terhindar dari dosa.
Berdo’a ketika berbuka sesuai dengan yang diinginkan.
Seperti membaca do’a: “Ya Allah hanya untuk-Mu aku beupuasa, dengan rizki
anugerah-Mu aku berbuka. Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah,
terimalah amalku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Berbuka dengan kurma segar, jika tidak punya maka dengan
kurma kering, dan jika tidak punya cukup dengan air.
Hukum orang yang tidak berpuasa Ramadhan
Diperbolehkan tidak puasa pada bulan Ramadhan bagi empat
golongan:
Orang sakit yang berbahaya baginya jika berpuasa dan orang
bepergian yang boleh baginya mengqashar shalat. Tidak puasa bagi mereka berdua
adalah afdhal, tapi wajib mengqadhanya. Namun jika mereka berpuasa maka puasa
mereka sah (mendapat pahala). Firman Allah Ta’ala: ” ….Maka barangsiapa di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain…. ” (Al-Baqarah:184). Maksudnya, jika orang sakit dan orang yang
bepergian tidak berpuasa maka wajib mengqadha (menggantinya) sejumlah hari yang
ditinggalkan itu pada hari lain setelah bulan Ramadhan.
Wanita haid dan wanita nifas: mereka tidak berpuasa dan
wajib mengqadha. Jika berpuasa tidak sah puasanya. Aisyah radhiallahu ‘anha
berkata: “Jika kami mengalami haid, maka diperintahkan untuk mengqadha puasa
dan tidak diperintahkan menggadha shalat.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).
Wanita hamil dan wanita menyusui, jika khawatir atas
kesehatan anaknya boleh bagi mereka tidak berpuasa dan harus meng-qadha serta
memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Jika mereka
berpuasa maka sah puasanya. Adapun jika khawatir atas kesehatan diri mereka
sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan harus meng-gadha saja. Demikian
dikatakan Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan o!eh Abu Dawud. Lihat kitab Ar
Raudhul Murbi’, 1/124.
Orang yang tidak kuat berpuasa karena tua atau sakit yang
tidak ada harapan sembuh. Boleh baginya tidak berpuasa dan memberi makan
seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Demikian kata Ibnu Abbas
menurut riwayat Al-Bukhari. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 1/215. Sedangkan
jumlah makanan yang diberikan yaitu satu mud (genggam tangan) gandum, atau satu
sha‘ (+ 3 kg) dari bahan makanan lainnya. Lihat kitab ‘Umdatul Fiqh, oleh Ibnu
Qudamah, him. 28.
Hukum jima’ pada siang hari bulan Ramadhan
Diharamkan melakukan jima’ (bersenggama) pada siang hari
bulan Ramadhan. Dan siapa yang melanggarnya harus meng-qadha dan membayar
kaffarah mughallazhah (denda berat) yaitu membebaskan hamba sahaya. Jika tidak
mendapatkan, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut; jika tidak mampu
maka memberi makan 60 orang miskin; dan jika tidak punya maka bebaslah ia dari
kaffarah itu. Firman Allah Ta’ala: “Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya…” (Al-Baqarah: 285). Lihat kitab Majalisu Syahri
Ramadhan, hlm. 102-108.
Hal-hal yang membatalkan puasa
Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa
maka tidak batal puasanya.
Jima’ (bersenggama).
Memasukkan makanan ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini
adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah.
Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani,
bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar mani
karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluamya tanpa sengaja.
Keluamya darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita
mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau
sore hari sebelum terbenam matahari.
Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman
dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib
qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Dalam lafazh lain disebutkan:
“Barangsiapa muntah tanpa disengaja, maka ia tidak (wajib) mengganti puasanya.”
Diriwayatkan oleh Al-Harbi dalam Gharibul Hadits (5/55/1) dari Abu Hurairah
secara maudu’ dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits
Ash-Shahihah No. 923.
Murtad dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya.
Perbuatan ini menghapuskan segala amal kebaikan. Firman Allah Ta’ala:
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan
yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam: 88).
Tidak batal puasa orang yang melakukan sesuatu yang
membatalkan puasa karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika
tenggorokannya kemasukan debu, lalat, atau air tanpa disengaja. Jika wanita
nifas telah suci sebelum sempurna empat puluh hari, maka hendaknya ia mandi,
shalat dan berpuasa.
Kewajiban orang yang berpuasa
Orang yang berpuasa, juga lainnya, wajib menjauhkan diri
dari perbuatan dusta, ghibah (menyebutkan kejelekan orang lain), namimah
(adu-domba), laknat (mendo’akan orang dijauhkan dari rahmat Allah) dan mencaci-maki.
Hendaklah ia menjaga telinga, mata, lidah dan perutnya dari perkataan yang
haram, penglihatan yang haram, pendengaran yang haram, makan dan minum yang
haram.
Puasa yang disunatkan
Disunatkan puasa 6 hari pada bulan Syawwal, 3 hari pada
setiap bulan (yang afdhal yaitu tanggal 13, 14 dan 15; disebut shaum al-biidh),
hari Senin dan Kamis, 9 hari pertama bulan Dzul Hijjah (lebih ditekankan
tanggal 9, yaitu hari Arafah), hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram) ditambah
sehari sebelum atau sesudahnya untuk mengikuti jejak Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya yang mulia serta menyelisihi kaum Yahudi.
A. Arti Definisi / Pengertian Ibadah Haji
Ibadah haji adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh umat
islam yang mampu atau kuasa untuk melaksanakannya baik secara ekonomi, fisik,
psikologis, keamanan, perizinan dan lain-lain sebagainya. Pergi haji adalah
ibadah yang masuk dalam rukun islam yakni rukun islam ke lima yang dilakukan
minimal sekali seumur hidup.
B. Syarat Sah Haji
1. Agama Islam
2. Dewasa / baligh (bukan mumayyis)
3. Tidak gila / waras
4. Bukan budak (merdeka)
C. Persyaratan Muslim yang Wajib Haji
1. Beragama Islam (Bukan orang kafir/murtad)
2. Baligh / dewasa
3. Waras / berakal
4. Merdeka (bukan budak)
5. Mampu melaksanakan ibadah haji
Syarat “Mampu” dalam Ibadah Haji
1. Sehat jasmani dan rohani tidak dalam keadaan tua renta,
sakit berat, lumpuh, mengalami sakit parah menular, gila, stress berat, dan
lain sebagainya. Sebaiknya haji dilaksanakan ketika masih muda belia, sehat dan
gesit sehingga mudah dalam menjalankan ibadah haji dan menjadi haji yang
mabrur.
2. Memiliki uang yang cukup untuk ongkos naik haji (onh)
pulang pergi serta punya bekal selama menjalankan ibadah haji. Jangan sampai
terlunta-lunta di Arab Saudi karena tidak punya uang lagi. Jika punya
tanggungan keluarga pun harus tetap diberi nafkah selama berhaji.
3. Keamanan yang cukup selama perjalanan dan melakukan
ibadah haji serta keluarga dan harta yang ditinggalkan selama berhaji. Bagi
wanita harus didampingi oleh suami atau muhrim laki-laki dewasa yang dapat
dipercaya.
D. Rukun Haji
Rukun haji adalah hal-hal yang wajib dilakukan dalam berhaji
yang apabila ada yang tidak dilaksanakan, maka dinyatakan gagal haji alias
tidak sah, harus mengulang di kesempatan berikutnya.
Ihram
2. Wukuf
3. Thawaf
4. Sa’i
5. Tahallul
PASAL
Larangan saat ikhram
Larangan semasa Ihram secara umumnya bolehlah dibahagikan
kepada 5 kategori:
Pakaian
Wangian
Kecantikan
Alam sekitar
Hubungan kelamin
Pakaian
1. Muslim lelaki yang sedang berihram adalah sama sekali
dilarang untuk memakai pakaian yang berjahit, bertenun, bercantum, bersarung
dan sebagainya. Misalnya: seluar, baju, kemeja, stokin, kasut, sepatu berjahit
yang boleh menutup badan-badan jari kaki dan tumit belakang kaki, tuala
berjahit tepi mahupun kain pelikat dan seumpama dengannya yang berkaitan.
Namun berikut lelaki Muslim yang sedang berihram
dibenarkan/diharuskan untuk mengenakan pakaian berikut sewaktu berihram tanpa
dikenakan dam:
Memakai kain pelikat berjahit tepi atau selimut berjahit
tepi dengan cara tidak disarungkan ke badan(sekadar dibuat lapik tikar ataupun
selimut ringan sahaja adalah dibenarkan) (sebaiknya kain pelikat atau selimut
itu diceraikan dan dilepaskan dari jahitan ataupun cantumannya).
Memakai tali pinggang, cincin, jam tangan, beg galas, gelang
pengenalan Haji dan Gelang Pengenalan Pesakit serta Gelang Logam Kesihatan
(sekiranya diperlukan untuk tujuan meditasi dan perubatan sahaja).
Memakai sepatu yang boleh menampakkan jari-jari kaki yang
terbebas dan mempunyai tali pengikat diatas urat keting yang boleh menampakkan
tumit belakang (misalnya memakai selipar Jepun, selipar Hawaii dan seumpama
dengannya).
Menutup kaki dengan kain Ihram.
Menyemat pin kain pada kain ihram di sebelah bawah sahaja
bagi mengelakkan ia mudah tertanggal jika dirempuh orang (kebenarannya hanya
boleh diletakkan di aras pinggang sahaja pada bilangan pin yang munasabah).
Bercawat (berseluar dalam) dengan kain ihram yang tidak
berjahit ataupun bercantum.
Memakai lampin pakai buang kerana ingin membuang hajat tidak
berdosa dan tidak dikenakan dam jika tidak menyusahkan orang lain dan
membelakangi peraturan ihram.
Nota: Jika seseorang lelaki Muslim yang berihram membuat
sebaliknya dari perkara diatas secara tidak sengaja ataupun terlupa, maka dia
tidak dikira berdosa dan tidak dikenakan Dam tetapi ia perlulah menanggalkan
pakaian tersebut secepat mungkin. Tetapi jika membuatnya dengan maksud yang
jahat maka berdosa serta dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Tidak berdosa bagi
yang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggari hukum berpakaian dalam Ihram
jika disebabkan oleh keperluan terdesak serta menjaga keselamatan dan kesihatan
seperti:
Memakai sarung lutut untuk melegakan sakit lutut yang tidak
melekap dan melekat namun dikenakan Dam. Namun jika sarung lutut itu melekap
secara melekat maka ia tidak dikenakan Dam kerana sarung lutut jenis itu tidak
dijahit.
Memakai kasut pada kaki sihat demi mengimbangi badan dan
perjalanan adalah dibenarkan tetapi akan dikenakan Dam.
2. Lelaki Muslim yang sedang berihram adalah dilarang untuk
menutup kepala dengan cara meletakkan apa-apa kain atau penutup diatas rambut
dan kulit kepala. Seperti: songkok, kopiah, serban, selendang, malah kain Ihram
sekalipun. Jika dilakukan juga tanpa ada keperluan yang mustahak maka ia
berdosa dan dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Tetapi diharuskan melakukan
keperluan berikut dalam Ihram tanpa dikenakan Dam:
Menggunakan payung
Berteduh di bawah pokok
Berteduh di bawah khemah
Menutup muka, larangan ini hanya dikenakan kepada wanita
Muslim yang dalam keadaan berihram serta dalam solat. Jika ia dilakukan dengan
sengaja maka dikira berdosa dan perlu dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Jika
tidak sengaja maka perlu menanggalkannya dengan kadar segara tanpa dikenakan
Dam dan tidak berdosa. Menutup muka hanya boleh dilakukan oleh wanita sekiranya
dia:
Ingin menutup fitnah dan ingin mengawal situasi dan kondisi
syahwat bagi lelaki yang terpandang bagi mengelakkan terjatuhnya fitnah yang
keterlaluan akibat kecantikan wajahnya.
Ingin menutup rongga-rongga mulut, telinga, kulit, mata dan
hidung sekiranya diserangi dengan debu akibat ribut debu yang keterlaluan dan
kemasukan anasir luar yang merbahaya yang dicurigai mampu mendatangkan
kemudaratan pada wajah sekiranya tidak ditutup seperti serangga dan bahan kimia
yang merbahaya.
Wanita dan lelaki yang sedang berihram adalah dilarang untuk
memakai sarung tangan tanpa ada keperluan khusus yang terdesak seperti penyakit
pada tangan dan lain-lain yang dianggap keperluan penting.
Namun wanita dan lelaki yang berihram adalah dibenarkan
untuk memasukkan tangan ke dalam beg plastik atau kantung kain. Boleh juga
melindungi tangan disebalik tudung, skarf dan kain Ihram.
Wangian
1.Bagi setiap Jemaah Haji atau Umrah yang Muslim (lelaki dan
wanita) serta yang mengenakan pemakaian Ihram, mereka dilarang sama sekali bagi
mereka untuk memakai wangi-wangian sama ada di badan, rambut, janggut dan
sebagainya serta makanan, minuman atau menghidunya ke dalam hidung. Namun:
•Seseorang yang berada dalam Ihram adalah dibenarkan untuk
menggunakan ubat gigi, sabun mandi, syampu rambut, pencuci muka dan minyak
angin, minyak urut walaupun ia berbau wangi. Hal ini kerana penggunaannya
adalah untuk niat menjaga kebersihan dan kesihatan. Bukannya untuk
berwangi-wangian. Tetapi perlu diingatkan penggunaan bahan tersebut janganlah
disengajakan untuk dilebih-lebihkan kerana jika ia bertujuan sengaja untuk
merancakkan bauan wangi di badan, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta
perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Begitu juga dalam penggunaan
bahan minuman dan makanan yang berperisa dan berbau-bauan.
•Jika seseorang itu dalam keadaan berihram, lantas secara
tidak sengaja dia telah menyembur wangian (minyak attar dan minyak wangi) ke
atas dirinya ataupun orang lain yang telah menyembur wangian atas tubuhnya
secara sengaja ataupun tidak sengaja. Maka perlulah orang itu menghilangkan
kesan wangian atas badannya dengan kadar segera. Jika tidak menghilangkannya
dengan segera sedangkan sudah mengetahui, maka perbuatan itu telah dikira
berdosa serta perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
•Seseorang yang sedang mengucup/mencium Hajar Aswad,
perlulah berhati-hati ketika mengucupnya supaya ia tidak cedera kerana dirempuh
oleh orang ramai serta ia juga perlu berhati-hati agar wangian dari batu Hajar
Aswad itu tidak melekat pada mulut dan wajahnya. Hal ini kerana Hajar Aswad
sering diletakkan wangian kepadanya. Seseorang apabila sudah melekatnya wangian
Hajar Aswad padanya secara tidak sengaja maka perlulah ia segera
menghilangkannya. Jika tidak, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta
perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
•Jika seseorang itu memakai wagian pada kain Ihram sebelum
dia berniat Ihram, serta wangian itu masih wujud pada pakaian Ihramnya walaupun
sesudah dia berniat Ihram maka disini terdapat 2 pendapat yang boleh diikuti:
Menurut pendapat Al-Asah, maka perbuatan itu tidak berdosa
tetapi dikenakan Dam.
Menurut pendapat Muqabil Asah, maka perbuatan itu tidak
berdosa dan tidak dikenakan Dam, kerana pada kebiasaannya pakaian dipakai dan
kemudian ditanggalkan. Dan perkara ini merupakan suatu kebiasaan.
•Wangian yang dipakai pada badan (sebelum berniat Ihram) dan
kemudian ia cair kerana akibat tindakan perpeluhan. Lalu melekat pada kain
Ihram, maka oleh yang demikian, kain Ihram itu boleh dipakai semula walaupun
telah ditanggal dan masih berbau harum dan wangi. Perbuatan itu tidak berdosa
dan tidak dikenakan Dam.
•Kiswah atau Kelambu Kaabah turut dilumurkan minyak wangi,
maka perlulah berhati-hati ketika menghampirinya supaya ia tidak cedera kerana
dirempuh oleh orang ramai serta ia juga perlu berhati-hati agar wangian dari
Kiswah itu tidak melekat pada mulut dan wajahnya serta tubuh badan. Hal ini
Kiswah sering diletakkan wangian kepadanya. Seseorang apabila sudah melekatnya
wangian Kiswah padanya secara tidak sengaja maka perlulah ia segera
menghilangkannya. Jika tidak, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta
perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
•Memakai losyen pelindung sinaran matahari UV adalah
dibenarkan kerana ia bertujuan untuk perubatan dan kesihatan.
Kecantikan
Setiap umat Islam (lelaki dan perempuan) yang menunaikan
Haji dan Umrah di Baitullah serta di dalam keadaan Ihram adalah dilarang sama
sekali menanggalkan, mencabut dam mengetip rambut dan kuku dengan sengaja.
Sekiranya dia tetap melakukan larangan demikian maka perbuatan itu telah dikira
berdosa serta perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Jika dia tidak
sengaja dan memohon keampunan dari Allah SWT secara langsung maka perbuatan itu
tidak berdosa tetapi dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
Sekiranya dia bersyampu atau atau berkait dengannya (seperti
berwuduk) lantas rambutnya gugur sedangkan dia tidak menghendaki akan perkara
tersebut terjadi (rambut gugur) atau mungkin rambutnya dari jenis gen yang
cepat gugur, maka dia tidak berdosa tetapi dikenakan Dam.
Tetapi, jika kuku atau rambut, bulu tubuh itu jatuh atau
tercabut dengan sendiri sedangkan dia tidak menghendakinya untuk terjatuh maka
perbuatan itu tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam.
Wanita Muslim yang memakai serkup dan tudung sepanjang waktu
Ihram dan dia mendapati terdapatnya rambut didalam serkupnya (apabila dibuka)
maka dia tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam kerana perkara itu terjadi bukan
atas kehendaknya.
Sekiranya dia (jemaah yang dalam Ihram itu) adalah orang
yang dalam keadaan mudah untuk rambutnya gugur akibat penyakit ataupun gen
keturunannya, maka adalah diperlukan untuk orang itu memendekkan rambutnya
sebelum dia berniat Ihram.
Sekiranya dia ada dikesan berpenyakit oleh pakar perubatan
atau amat berkeperluan untuk bercukur sewaktu dia berIhram dan diminta serta
dikehendakinya untuk mencukur rambut atau membotakkan rambut pada waktu itu
juga dan tidak boleh dilewatkan sesudah dia bertahallul, maka di perlu
melakukan perkara tersebut seperti yang diarahkan demi menjaga kesihatan dan
keselamatan dirinya. Maka dari itu, dia dan penyuruh pelaksanaan itu tidak
berdosa tetapi jemaah yang berihram itu diperlukan untuknya membayar Dam
(Takhyir dan Taqdir).
Jika jemaah yang sedang dalam Ihram itu mendapati terpatnya
kulit mati kerak kulit dan sebagainya diatas bulu/rambutnya dan dia
menghilangkannya, maka dia tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam kerana bulu
tersebut mengikut kulit.
Jemaah yang dalam Ihram juga boleh untuk mencabut kukunya
jika dia mendapati kukunya itu menyebabkan kemudharatan padanya seperti kuku
terbelah atau cengkam dan ia tidak dikenakan Dam. Harus baginya untuk mencabut
kulit bibir, tangan, kaki yang mengelupas ketika dia berihram. Dan dia tidak
dikenakan Dam. Jika dipotong anak jari yang masih ada kukunya, maka dia tidak
berdosa dan tidak dikenakan Dam kerana kuku tersebut mengikut jarinya.
Nota: Jemaah yang sedang berIhram juga adalah diminta untuk
menjauhi perbuatan (seperti bersyampu, menggaru kepala, bersikat dan
sebagainya) yang boleh menyebabkan rambut, bulu atau kukunya untuk tertanggal
ketika dia masih belum lagi boleh bertahallul, hal ini adalah untuk kebaikan
dan kemudahan mereka jua.
Alam sekitar
1. Adalah dilarang bagi setiap jemaah Haji dan Umrah ketika
dalam Ihramnya laki-laki dan perempuan untuk mencabut, memotong, mematah dan
mengerat dahan pokok dan pohon yang ditanam hidup dan tumbuh di Tanah Haram.
Larangan ini adalah turut tidak boleh dilakukan oleh mana-mana orang yang hadir
di Tanah Haram (al-Haramain: Makkah,Madinah, Masyair Haram: Arafah, Muzdalifah
dan Mina, Al Haram Al Sharif: Baitul Maqdis). Hal ini kerana, pokok yang hidup
subur di Tanah Haram adalah “Pohon-pohon yang diberkati”.
2. Adalah dilarang bagi setiap jemaah Haji dan Umrah ketika
dalam Ihramnya laki-laki dan perempuan untuk memburu, menembak, membunuh,
mengorbankan, menangkap, mengurung, membinasakan dan mengasari setiap haiwan
darat yang boleh atau dilarang untuk dimakan. Larangan ini melibatkan setiap
jenis haiwan darat, burung dan serangga selain daripada haiwan laut.
Jika seseorang itu memijak atau terbunuh haiwan/serangga
kecil seperti semut hitam kecil, belalang dan sebagainya dengan tidak sengaja
maka dia tidak dikira berdosa akan tetapi ia amat perlu membayar Dam mengikut
nilai serangga yang terhapus.
Seseorang itu dibenarkan untuk membunuh haiwan dan serangga
yang boleh menyebabkan dia mungkin akan mengalami kemudharatan dan terancam
kemaslihatannya dan jemaah lain jika terus dibiarkannya ketika dalam Ihram
seperti nyamuk, ular, kala jengking dan labah-labah. Dan dia tidak dikenakan
Dam. Namun sebaiknya dia hanya perlu menghalau serangga atau haiwan itu
terlebih dahulu sekiranya ada kemampuan bagi dirinya kerana itu adalah lebih
baik.
Hubungan kelamin
1. Melakukan mukaddimah kepada persetubuhan
Setiap jemaah (lelaki dan wanita) Haji atau Umrah yang dalam
Ihram adalah dilarang untuk melakukan mukaddimah (Permulaan/Pendahuluan) kepada
persetubuhan sama ada dalam bentuk perkataan, perbuataan, layanan isyarat tubuh
atau sebagainya.
Namun demikian, adalah tidak dikenakan Dam bagi mereka yang
dalam Ihram yang keluar air Mani akibat melihat wanita dan dilamun khayal seks.
Suami isteri atau mahram@muhrim dibolehkan untuk memegang
tangan (bukan anggota sulit) ketika dalam Ihram dengan syarat mereka perlulah
dalam keadaan dimana disebut “Masyaqqah” iaitu: Keperluan dengan Tanpa Rasa
Syahwat (ingin melakukan seks).
Suami isteri atau mahram adalah dibolehkan untuk berpelukan
dengan tujuan keperluan terdesak (bukan ingin melakukan seks) serta tujuan
keselamatan seperti kesakitan dll ketika dalam Ihram dengan syarat mereka
perlulah dalam keadaan dimana disebut “Masyaqqah”iaitu: Keperluan dengan Tanpa
Rasa Syahwat (ingin melakukan seks).
2. Melakukan persetubuhan
Perbuatan persetubuhan (seks) adalah suatu yang dilarang
keras dan mampu untuk merosakkan ibadah Haji seseorang khususnya ketika jemaah
itu ternyata dalam keadaan berIhram sebelum Tahallul Awwal. Keadaan larangan
ini adalah berada pada kedudukan di mana:
Sengaja bersama (dengan rela hati) melakukan persetubuhan
(seks) tanpa dipaksa
Tahu hukum melakukan seks ketika berIhram adalah Haram
Sudah Mumaiyiz (tahu membezakan perbuatan baik dan buruk
yakni bermula sekitar umur 7 atau 9 tahun dan keatas)
Apabila telah ternyata suami dan isteri melakukan perbuatan
diatas, maka wajib bagi mereka untuk meneruskan baki ibadah-ibadah haji yang
belum terlaksana untuk dilaksanakan sesempurna yang mungkin sehingga selesai,
dan seterusnya segera mengqadakkan (mengantikan kembali) Haji(pada kali kedua)
tersebut walaupun ianya adalah sekadar Haji Sunat (secara umumnya ibadah Haji
yang dilakukan untuk kali kedua dan seterusnya, adalah Haji yang dalam kategori
Sunat sahaja) kecuali jika ada keuzuran diantara keduanya. Hanya suami yang
dikenakan Dam (Tertib dan Taadil). Kedua-dua (suami dan isteri) perlu memohon
keampunan dari Allah SWT jua hendaknya.
Namun, jika berlakunaya lagi bersetubuhan (yang bersambungan
dengannya) selepas persetubuhan yang merosakkan Haji pada kali pertama, maka
suami dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir) pula. Jika berlaku persetubuhan
selepas Tahallul Awwal tetapi sebelum Tahallul Thani, ibadah Hajinya tidak
batal, tetapi suami dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir) pula.
Suami dan isteri adalah dibolehkan untuk bersetubuh selepas
(kedua-dua jenis Tahallul Awwal dan Tahallul Thani) telah dilangsaikan dengan
sempurna.Namun lebih afdhal(lebih baik dan digalakkan) untuk menangguh
perbuatan tersebut sehingga selesai segala rukun dan aktiviti Haji dilaksanakan.
3. Larangan berkahwin, mengahwinkan atau menerima wakil
kahwin
Semua perbuatan berkahwin, mengahwinkan atau menerima wakil
kahwin adalah dilarang sama sekali ketika jemaah itu dalam keadaan BerIhram.
Bahkan, aktiviti pra-perkahwinan dan pasca perkahwinan seperti merisik,
meminang dan bernikah adalah tidak sah. Akad nikah juga dikira Haram. Namun,
orang yang terlibat tidak dikenakan Dam.
PASAL
Macam-macam dam
a. Dam haji tamattu’ dan haji qiran, yaitu dam yang wajib
dibayar oleh orang yang mengerjakan umrah sebelum haji (dalam bulan-bulan haji)
atau yang membaca talbiyah untuk haji dan umrah sekaligus. Hal ini didasarkan
pada firman Allah, yang artinya, ”Maka barangsiapa yang ingin mengerjakan umrah
sebelum haji (di dalam bulan-bulan haji), (wajiblah ia menyembelih binatang
hadyu) yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang hadyu atau
tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) bila kamu telah pulang kembali.” (Al-Baqarah:106).
b. Dam fidyah,
yang wajib atas jama’ah yang mencucuk rambutnya karena sakit atau karena
tertimpa sesuatu yang menyakitkan. Ini mengacu kepada firman Allah:
Jika ada di antara kamu yang sakit atau gangguna di
kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa
atau bershadaqah atau menyembelih binatang ternak sebagai dam.
(Al-Baqarah:196).
c. Dam Jaza’,
yaitu dam yang wajib dibayar oleh orang yang sedang berihram bila membunuh
binatang buruan darat. Adapun binatang buruan itu, maka tidak ada dendanya.
(tentang dam ini telah dijelaskan pada beberapa halaman sebelumnya).
d. Dam Ihshar,
yaitu dam yang wajib dibayar oleh jama’ah haji yang tertahan, sehingga tidak
mampu menyempurnakan manasik hajinya, karena sakit, karena terhalang oleh musuh
atau karena kendala yang lain. Dan ia tidak menentukan syarat ketika memulai
ihramnya. Hal ini berpijak pada firman Allah:
Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena
sakit), sembelihlah binatang hadyu yang mudah didapat. (Al-Baqarah).
e. Dam Jima’
yaitu dan yang difardhukan atas jama’ah haji yang sengaja menggauli isterinya
di tengah pelaksanaan ibadah haji (ini telah dijelaskan).
PENUTUP
Alhamdulillahirobbil alamin dengan berkat rahmat allah yang maha kuasa
penulis dapat menyelesaikan buku ini yang guna untuk menjalalankan tugas dari
ustadz Abdul ghorar Spd.i (pondok pesantren miftakhul huda peron).
Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca baik di
dunia maupun di akhirat ,
Penulis adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan
maka dari itu apa bila ada kesalahan saya minta maaf yang sebesar besarnya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar